get app
inews
Aa Text
Read Next : Dorong Pertumbuhan Ekonomi Jelang IKN, HIPMI Jatim dan Kaltim Jalin Kerja Sama Strategis

Ritual Adat di Tengah Proyek IKN, Antara Pengakuan dan Legitimasi

Sabtu, 27 Desember 2025 | 08:55 WIB
header img
Bagi masyarakat adat Kutai, Pelas Benua bukan sekadar tontonan eksotis. Ritual ini adalah pagar etis. Ia adalah mekanisme turun-temurun untuk meminta izin kepada alam. Foto: Illustrasi/Nano Banana

SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Di tengah deru mesin pancang dan debu proyek yang mengepung kawasan Sepaku, aroma dupa sempat menyeruak. Ritual adat Pelas Benua digelar, sebuah jeda sakral di tengah ambisi beton raksasa bernama Ibu Kota Nusantara (IKN).

Sekilas, ini adalah kabar sejuk. Negara tampak memberi ruang pada tradisi, seolah mengakui bahwa tanah Kalimantan bukan sekadar lahan kosong tak bertuan. Namun, saat asap dupa menipis dan para pejabat kembali ke Jakarta, satu pertanyaan fundamental tertinggal di benak publik: apakah masyarakat adat benar-benar ditempatkan sebagai subjek yang dihormati, atau sekadar ornamen pelengkap untuk memuluskan narasi pembangunan?

Bagi masyarakat adat Kutai, Pelas Benua bukan sekadar tontonan eksotis. Ritual ini adalah pagar etis. Ia adalah mekanisme turun-temurun untuk meminta izin kepada alam, membersihkan wilayah dari energi buruk, dan menegaskan kembali hubungan spiritual manusia dengan ruang hidupnya.

Dalam kosmologi lokal, tanah tidak dipahami semata sebagai aset properti, melainkan entitas yang bernyawa. Oleh karena itu, Pelas Benua berfungsi sebagai penanda batas: bahwa manusia tidak boleh semena-mena mengubah bentang alam tanpa permisi kepada leluhur dan penjaga tanah tersebut.

Ketika ritual ini dibawa masuk ke dalam agenda resmi IKN, ada harapan yang tumbuh. Paling tidak, logika teknokratis pembangunan tidak berjalan sendirian. Ada upaya untuk menyapa jiwa dari tanah yang sedang dibongkar itu.

Namun, harapan ini menyimpan bahaya laten.

Dalam politik tata ruang, ritual budaya sering kali bersifat licin. Ia bisa menjadi jembatan pemahaman, tetapi lebih sering dimanfaatkan sebagai alat legitimasi.

Inilah kekhawatiran utamanya: Pelas Benua di IKN berisiko jatuh menjadi kosmetik politik. Dengan memfasilitasi ritual adat, negara seolah telah menunaikan kewajibannya. Ritual digunakan untuk membangun narasi bahwa pembangunan IKN telah direstui oleh alam dan leluhur. Ini adalah strategi komunikasi yang cerdas untuk meredam kritik ekologis dan resistensi sosial.

Masalahnya, simbol tanpa substansi adalah penipuan.

Apa gunanya mantra dipanjatkan dan sesaji dipersembahkan, jika di atas meja perencanaan, suara masyarakat adat tetap diabaikan? Apa artinya memohon keselamatan pada leluhur, jika peta zonasi IKN justru menggusur kebun, ladang, dan situs keramat milik keturunan leluhur tersebut?

Jika pola ini yang terjadi, maka ritual suci itu telah dikerdilkan fungsinya. Ia tidak lagi menjadi kompas moral dalam memperlakukan alam, melainkan sekadar stempel persetujuan mistis bagi buldoser untuk terus meratakan tanah.

Kita patut mengapresiasi langkah pemerintah yang mulai melirik elemen budaya lokal. Namun, penghormatan terhadap masyarakat adat tidak cukup dibayar dengan seremoni satu atau dua jam.

Penghormatan sejati diukur dari kebijakan nyata. Menghormati adat berarti memberikan jaminan perlindungan hak ulayat. Menghormati leluhur berarti melibatkan pewarisnya dalam pengambilan keputusan krusial, mulai dari tata ruang, pengelolaan air, hingga batas wilayah kelola.

Tanpa keterlibatan yang bermakna, ritual adat di tengah mega-proyek hanyalah sebuah ironi. Ia menciptakan kesan inklusif di permukaan, sementara mesin pembangunan tetap bekerja dengan watak yang menyingkirkan.

IKN sering digadang-gadang sebagai wajah masa depan Indonesia. Namun, masa depan yang beradab tidak seharusnya dibangun dengan cara menumbalkan masa lalu.

Pelas Benua seharusnya menjadi pengingat keras bagi para pengambil kebijakan di Jakarta: bahwa ada nilai, ada batas, dan ada manusia yang telah lebih dulu hidup di tanah ini, jauh sebelum undang-undang IKN diketok palu.

Jangan sampai doa-doa leluhur itu hanya bergema sesaat, lalu hilang ditelan deru mesin proyek. Sebab, kota yang dibangun dengan mengabaikan tuan tanah-nya, tidak akan pernah benar-benar menjadi rumah yang menenteramkan.

Penulis

Rafi Putra Firmansyah Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Editor : Arif Ardliyanto

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut