JOMBANG, iNews.id – Aparat Polda Jawa Timur diremehkan. Tersangka berinisial MSA yang ditetapkan Polda Jatim sebagai DPO (Daftar Pencarian Orang) dugaan pencabulan bebas berkeliaran. Ia juga bebas mengikuti konser musik jazz di Jombang.
Kondisi ini terlihat dengan peredaran flyer atau publikasi menegnai digelarnya sebuah konser pertunjukan musik jazz, dimana salah satu pengisi band diduga sebagai MSA, DPO Polda Jawa Timur di wilayah Kecamatan Ploso, Jombang yang akan diselenggarakan pada Selasa (31/5/2022).
Informasi tersebut dibagikan oleh sebuah akun instagram @musiksehattentrem. Dalam sebuah acara musik itu akan menampilkan sejumlah band yang diduga dianggotai oleh MSA dan band tamu lain seperti Indro Hardjidikoro, Sruti Respati, Syaharani dan lainnya.
Kondisi tersbeut membuat aktivis Jaringan Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual serta Direktur WCC Jombang, Ana Abdillah kebakaran jenggot. Ia mengungkapkan keprihatinannya atas hal tersebut. “Tentu saja sangat prihatin sekali dengan beredarnya flyer memperlihatkan bagaimana arogansi dari tersangka sendiri dengan pede, dengan kesombongannya menampakkan diri ke publik menggelar konser terbuka,” ungkapnya, Senin (30/5/2022).
Ana mengatakan jika benar demikian, MSA dianggap sebagai warga negara yang membangkang terhadap status dirinya dalam proses hukum atas kasus pencabulan kepada korban yang tidak lain adalah santrinya.
“Menunjukkan sebagai warga negara tidak taat hukum. Selain itu tidak mau bertanggungjawab terkait kewajiban sebagai orang yang harus koperatif dalam menjalani proses hukum. Justru menjadikan persoalan ini di mata publik ada kesan bahwa tersangka atau DPO kebal hukum,” ujarnya.
Menurutnya, kondisi ini sangat krusial dan harus dijawab dengan langkah konkret oleh aparat penegak hukum untuk segera melakukan penangkapan terhadap MSA. “Ya kemudian ini menjadi preseden tidak baik terkait profesionalitas kinerja aparat penegak hukum, yang artinya dalam tanda kutip hastag percuma lapor polisi itu kemudian menjadi sangat relevan dikaitkan proses penegakan hukum kasus kekerasan seksual yang terjadi di Kabupaten Jombang,” jelasnya.
Ana menambahkan jika saat ini Indonesia sudah melakukan reformasi kebijakan dengan negara menghadirkan peran untuk pengesahan UU TPKS dimana harusnya menjadi pemantik aparat penegak hukum untuk berorientasi pada hak-hak korban dalam proses peradilan dan penegakan hukum.
“Tapi faktanya kebijakan semakin maju, namun faktanya implementasinya tidak orientasi pada hak korban,” ujarnya.
Dalam setiap rekomendasi yang dilakukan berulang, dirinya bersama aktivis anti kekerasan seksual di Jombang mendesak kepolisian agar segera menuntaskan kasus yang menjerat DPO MSA. “Rekomendasinya yang jelas berkali kali kami sampaikan dari Jaringan Aliansi Kota Santri lawan kekerasan seksual menuntut, mengingatkan, mendesak itu berulang kali, artinya kinerja kepolisian mulai dari Polres, Polda, Polri jadi sorotan publik. Sejauh mana kepolisian membuktikan bahwa kesan warga kebal hukum tidak benar,” pungkasnya.
Editor : Arif Ardliyanto