MOJOKERTO, iNews.id - Kicau burung liar tiada henti menyampaikan pesan kedamaian di lereng Gunung Welirang. Di ketinggian 1200 MDPL, semilir angin tiada henti mengajak dedaunan menari. Jari jemari Yahya, petani kopi Trawas dengan lembut terus memetik merahnya kopi.
Yahya, warga Dusun Jaten, Desa Selotapak, merupakan salah satu dari puluhan petani kopi dikawasan Trawas. Diusianya yang ke-54 tahun, ia tidak menyerah merawat setiap batang tanaman kopinya. Baginya, bertanam kopi bukan hanya bicara soal uang. Tapi dari kopi, dia belajar menghargai kehidupan.
"Setiap yang punya nyawa kita harus memperhatikan mereka, supaya sambung nyawa. Harus ada interaksi antara tanaman dengan
perawatnya", tuturnya serambi memetik biji kopi.
Pria yang akrab dipanggil Pak Rin ini bercerita, sudah delapan tahun lamanya ia menanam kopi. Namun baru sekitar 2 tahun ini bisa menikmati hasilnya. Pada awalnya, Yahya hanya asal-asalan dalam merawat, tetapi saat ini sudah mulai tertata atas pendampingan.
"Alhamdulillah sekarang hasil produksi lebih baik dan semakin meningkat. Dulu hasilnya laku Rp24.00 per kg. Sekarang naik menjadi Rp70.000 per kg", ucap Yahya.
Atas ketelatenan Yahya, biji kopi yang dihasilkan akhirnya diperhitungkan dipasaran. Sejumlah tengkulakpun sempat mendatangi rumhanya untuk menebas hasil panen. Namun sebagai petani, Yahya hanya mau menjual melalui satu pintu yaitu pendampingya yang juga pengusaha kedai kopi.
Pendamping petani kopi Trawas, Machfud Chalim memperkirakan, ada sekitar 50 hektar lahan kopi di Trawas. Dari 50 hektar tersebut terdapat ada sekitar 30 orang petani dengan tiga varietas kopi yakni Arabica, Robusta dan Leberica. Namun yang serius dan mau belajar dalam pengelolaan hanya 3 sampai 4 petani saja.
"Kira-kira total lahan empat petani sekitar 15 hektar", ujarnya.
Machfud menegaskan, keterlibatannya dalam mendampingi petani kopi mursi inisiatif sendiri. Hal itu ia lakukan semata-mata ingin kesejahteraan petani kopi meningkat. Sebagai pecinta kopi, Machfud memiliki membuktikan pada dunia, bahwa di kampung halamannya juga ada kopi yang tak kalah dengan kopi daerah lain.
"Namun cara merawat dan memproses kopi harus benar supaya cita rasa kopi itu muncul", katanya.
Merawat kopi ternyata tidak mudah. Selain sabar, juga banyak tahapan yang harus dilalui oleh petani. Lama proses dari petik sampai jadi biji kopi bisa memakan waktu selama 5 hingga 8 bulan.
"Setelah kopi dipetik, biji kopi di rambang atau dicuci. Ini selain untuk membersihkan juga untuk memilih kopi yang berkualitas", terang Macfud.
Setelah terpilih, dilakukan pengupasan basah. Dari pengupasan basah, dilanjutkan proses fragmentasi sekitar 18-36 jam dan dicuci lagi. "Dari situ baru kopi dijemur hingga 3 minggu dan bisa di Huling atau selep. Ini proses ideal minimal", tandas Machfud.
Pakar sangrai kopi ini berangan-angan, setelah petani kopi Trawas bisa menerapkan ilmu yang didapat, ia juga ingin berbagi ke tempat lain. Baginya, jika peduli kopi jangan hanya bicara kopinya saja. Namun ada yang lebih, yakni petani harus sejahtera.
"Saya bersyukur saat ini sudah ada pemuda sini mau menekuni kopi, bahkan membuka kedai kopi khusus kopi Trawas", papar Machfud.
Sementara itu pemilik kedai Dimensi Kopi, Galih Abdi Surya menambahkan, potensi pasar kopi sangat besar. Disisi lain, Trawas merupakan kawasan wisata alam. "Jadi kopi bisa dipakai oleh-oleh selain Durian", ujarnya bangga.
Alumni Universitas Islam Malang ini sudah menekuni usaha kedai kopi selama dua tahun. Ia sengaja hanya menjual kopi asli Trawas. "Kalau orang mau ngopi Trawas ya disini tempatnya", tuturnya serambi menyeduh kopi Arabica.
Harga kopi di kedai Domensi Kopi bervariasi. Segelas kopi dibandrol antara Rp6000 hingga Rp12.000 tergantung jenis kopinya. Dalam sebulan, Galih mengaku bisa meraup omzet hingga puluhan juta rupiah."Sudah dua tahun saya membuka kedai ini. Alhamdulillah semakin meningkat pengunjungnya", pungkasnya.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait