Padahal, lanjut Winda, undang-undang jelas mengatur dan menjamin bahwa imbalan ini merupakan sebuah hak yang dipayungi hukum. Selain bentuk apresiasi bagi penulis dan segenap tim kreatif belakang layar hal ini juga berhubungan dengan keberlangsungan operasional penerbit agar dapat terus menjadi rumah bagi para penulisnya untuk menerbitkan karya-karya berkualitas.
"Beberapa waktu lalu, sebuah buku cerita terbitan kami dibacakan secara nyaring di atas panggung di depan umum, berlatar belakang sebuah monitor yang memamerkan isi buku yang telah direkam secara elektronik (scan) dari awal hingga akhir," ungkap Winda.
Tak hanya berhenti di situ, acara pun disiarkan secara langsung (live) dan rekaman diunggah ke dalam media sosial oleh penyelenggara pada tanggal 30 September 2022 yang lalu.
"Tentunya kejadian seperti ini membuat penulis, ilustrator, dan penerbit berhak merasa keberatan dan kecewa. Kejadian ini bukanlah kejadian yang pertama kali di mana karya penerbit diumumkan sepenuhnya di media sosial tanpa izin," imbuhnya.
Namun, saat menyuarakan keberatannya, beberapa sambutan bukanlah mendukung perjuangan mereka dalam menegakkan hak cipta, malah dikatakan tidak mendukung kegiatan literasi.
Winda menjelaskan, arti literasi yang sesungguhnya tidak hanya berarti bisa membaca dan menulis. Menjadi orang yang paham literasi juga berarti menjadi orang yang memiliki pengetahuan luas termasuk tentang peraturan dan perundang-undangan, menghargai dan menghormati karya orang lain.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait