SURABAYA, iNews.id – Penetapan Upah Minimum Kabupaten (UMK) sebesar 1,75% dinilai memberatkan pengusaha. Sebab, perusahaan masih mengalami kesulitan untuk berkembang di saat Pandemi Covid-19 ini.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur Adik Dwi Putranto menyatakan, kebijakan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa untuk menakan UMK tahun 2022 sebesar 1,75% atau senilai Rp75 ribu sangat memberatkan pengusaha. Karena pengusaha dalam kondisi sulit, begitu juga dengan buruh.
“Ini keputusan yang berat bagi pengusaha, situasinya pandemi. Sebenarnya juga berat bagi buruh dan pemerintah. Namun keputusan tersebut harus kita hargai, karena menurut saya, angka kenaikan Rp75 ribu itu mungkin adalah angka kebersamaan karena pemerintah juga harus mengakomodir tuntutan buruh. Kalau ada buruh yang keberatan, jangan lakukan lagi aksi demo lagi, saya sarankan kembali bekerja dan salurkan aspirasi itu melalui jalur hukum, begitu juga dengan teman-teman pengusaha, kalau ada yang tidak setuju, silahkan menempuh jalur hukum,” katanya.
Adik Dwi Putranto menuturkan, Peraturan Pemerintah nomor 36 tahun 2021 tentang pengupahan sudah keluar, dalam PP tersebut dijelaskan adanya ketentuan tidak ada kenaikan upah untuk lika kabupaten/kota, yaitu kota Surabaya, kabupaten Sidoarjo, kabupaten Gresik, kabupaten Pasuruan dan kabupaten Mojokerto.
Upah di lima kabupaten kota tersebut dianggap sudah melampaui batas maksimal sehingga ketika ada kenaikan upah kembali, akan sangat memberatkan pengusaha dan akan menimbulkan disparitas upah yang cukup dalam dengan kota lain, misalnya dengan upah di daerah Jawa Tengah.
“Kita ambil contoh upah di Surabaya dan Solo. Tahun ini UMK Surabaya sebesar Rp 4.300.479,19 dan di tahun 2022 menjadi Rp 4.375.479,19, naik Rp 75.000. Sementara UMK Solo tahun 2021 sebesar Rp 2.013.810 dan di tahun 2022 menjadi Rp 2.034.810, naik sebesar Rp 21.000. Artinya, disparitas upah antara Surabaya dengan Solo mencapai lebih dari Rp 2,3 juta,” ujarnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, sebenarnya upah tinggi akan berdampak negatif terhadap upaya pemerintah dalam melakukan percepatan pertumbuhan ekonomi, baik daerah maupun nasional. Lapangan kerja menjadi terbatas, karena pasti akan ada upaya efisiensi atau rasionalisasi yang dilakukan pengusaha karena tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut. Selain itu upah yang tinggi juga berdampak terjadinya substitusi tenaga kerja ke mesin, memicu terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Disisi lain, pengusaha yang akan membuka lowongan pekerjaan juga berfikir lagi dengan besarnya kenaikan upah yang dipaksakan. Sehingga akan terjadi perlambatan perluasan kesempatan kerja baru,” ujar Adik.
Kebijakan tersebut ungkap dia, akan berpengaruh pada iklim investasi di sebuah daerah. Kebijakan kenaikan upah yang melebihi kemampuan investor akan mendorong terjadinya relokasi perusahaan, dari lokasi yang memiliki nilai upah minimum tinggi ke yang lebih rendah, hingga mendorong tutupnya perusahaan.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait