SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Dokter spesialis paru, Arief Bakhtiar dr SpP(K) FAPSR, dosen dari Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (Unair) memberikan tanggapan terkait adanya kasus anak terkonfirmasi tuberkulosis (TBC) di Kabupaten Bantul.
Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bantul, D.I. Yogyakarta, sebanyak 619 anak dari total 1.216 terkonfirmasi tuberkulosis (TBC). Sebanyak 619 di antaranya adalah kasus TBC anak dan 12 kasus pasien TBC resisten obat.
Kejadian tersebut, menurut Arief, timbul akibat kebiasaan masyarakat yang acuh dengan kesehatan, terutama terlalu menyepelekan batuk. Tanpa disadari, gejala-gejala TBC hanya dianggap penyakit batuk biasa dan tidak dianggap serius sehingga enggan untuk memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan.
“Bisa dipastikan anak yang terkonfirmasi TBC merupakan pasien yang tertular karena dalam lingkungannya terdapat orang dengan TBC positif namun tidak berobat dan menggunakan masker,” tuturnya.
Ia menegaskan, kasus TB pada anak umumnya tidak menular, kecuali ditemukan keterlibatan TB pada paru yang aktif. “TB pada anak umumnya ekstra paru,” ucap Arief.
TB pada anak, kata dia, adalah akibat tertular dari orang sekitarnya atau dari lingkungan keluarga yang menderita TB paru. Penularan ini bisa diakibatkan oleh TB paru aktif, baik yang belum terdeteksi atau yang sudah terdeteksi namun belum menjalani pengobatan.
“Bahkan banyak dari lingkungan mereka yang dengan status TBC positif tapi sering tidak menyadari dan hal itu didukung dengan kontak intens dengan waktu yang cukup lama,” jelas Arief yang merupakan Ketua PDPI Cabang Jawa Timur.
Gejala TBC pada Anak
Arief mengatakan, anak yang tertular TBC memiliki gejala yang hampir sama dengan batuk pada umumnya. Beberapa gejala penyakit TBC pada anak antara lain nafsu makan menurun, berat badan turun dan tidak naik atau naik namun tidak sesuai grafik tumbuh, gagal tumbuh, demam tidak tinggi yang kronik atau berulang dengan penyebab yang tidak jelas, anak tidak aktif (lemas, letih, malaise kronik), batuk kronik selama kurang lebih dua minggu.
“Para orang tua seringkali tidak menyadari jika anak mereka terinfeksi TBC, sehingga mereka hanya memberikan perawatan biasa tanpa memeriksakan ke puskesmas atau dokter umum,” jelas Arief.
Pengaruh Kekebalan Tubuh Anak
Lebih lanjut, Arief juga menjelaskan bahwa faktor kekebalan tubuh anak menjadi salah satu hal penting yang berpengaruh pada proses penularan. Terlebih anak dengan kondisi gizi buruk atau stunting cenderung memiliki daya tahan tubuh yang lemah sehingga dapat dengan mudah terinfeksi TBC.
“Pada anak stunting atau kurang gizi umumnya proses penularan cenderung lebih cepat dikarenakan TBC dapat dengan mudah masuk di kondisi pasien dengan kekebalan tubuh yang rendah,” jelas Arief.
Orang Tua Harus Lebih Sigap
Arief mengimbau para orang tua agar lebih jeli membedakan batuk biasa pada anak dan gejala TBC. Apabila anak sudah mulai bergejala, segera lakukan pemeriksaan ke pusat layanan kesehatan. Kini pelayanan pengobatan TBC tersedia di puskesmas terdekat sehingga lebih mudah dijangkau masyarakat.
Arief mengatakan, penanggulangan TBC merupakan program nasional, pelayanan pasien tuberkulosis dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse). Program ini tentunya akan membantu masyarakat dalam pengobatan dan skrining TBC.
“Saat ini pemerintah sudah memberikan akses obat gratis dan perawatan yang mudah dijangkau masyarakat dalam mengobati penyakit TBC. Banyak program seperti DOTS yang masuk di tengah masyarakat dan bisa diakses di puskesmas terdekat. Pengobatan TB Paru pada anak akan semakin baik apabila penanganan diberikan secara cepat,” pungkasnya.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait