SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Sebagai penyangga utama kebutuhan minyak dan gas bumi (migas) di Jawa Timur, ternyata Pulau Madura belum merasakan dampak ekonomi yang signifikan.
Bahkan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas (DBH Migas) yang diberikan pemerintah pusat kepada kepulauan Madura pada tahun 2022 ternyata cukup kecil.
Bupati Sumenep Achmad Fauzi mengungkapkan, total DBH Migas yang dibagikan ke pulau Madura hanya Rp 123 miliar. Besaran itu jika dihitung dengan seluruh jumlah penduduk di Madura, maka setiap warganya hanya mendapatkan Rp 31 ribu saja.
Jumlah itu dirasakan tidak seimbang, karena wilayah Madura merupakan daerah penghasil Migas di Jatim.
"DBH Madura kan masuk terendah dan ini berkaitan liftingnya. Kalau dibagi hanya 31 ribu perorang. Kalau dibreakdown lagi di Sumenep hanya Rp 28 ribu. Maksud saya kalau dihitung jumlah penduduk dan DBH Migas segitu untuk daerah penghasil maka ini tidak seimbang," ungkapnya.
Fauzi berharap agar pemerintah pusat mengkaji ulang aturan itu, agar wilayah penghasil Migas bisa memperoleh DBH lebih besar untuk mengurangi angka kemiskinan.
"Paling tidak suatu saat akan menjadi pemikiran pemerintah pusat untuk pertimbangan itu," tegasnya.
Selain itu, Bupati Fauzi juga mendorong adanya revisi Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 yang memuat Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi (DBH Migas) antara pemerintah pusat dan daerah.
Pasalnya, aturan baru itu dinilai tidak berpihak kepada wilayah penghasil Migas, seperti di kabupaten Sumenep.
"Tapi itu menurut kami masih belum berpihak kepada daerah penghasil. Dan menurut kami yang diuntungkan adalah daerah pengelola dimana ujung dari pipa berada. Pasti diuntungkan, dari DBH dapat dan dari bisnisnya juga dapat, ini yang menurut saya harus dipelajari kembali," katanya usai menggelar pertemuan dengan SKK Migas Perwakilan Jabanusa di Surabaya pada kamis (19/1/2023).
Fauzi menuturkan, dalam aturan baru itu disebutkan bahwa kabupaten Sumenep hanya mendapat 0,5 persen dari DBH Migas yang diberikan pemerintah pusat. Jumlah itu jauh dibawah provinsi Jatim yang memperoleh DBH 10 persen, dan daerah pengelola yang dapat 2 persen.
"Kalau eksplorasinya jarak 4 sampai 12 mil itu itungannya 19,5 dibagi 37 kabupaten. Karena rata-rata eksplorasi Migas di Sumenep di wilayah itu, jadi kita hanya dapat 0,5 persen. Dan 1 persen untuk daerah pengelola. Kita walaupun daerah penghasil ya 19,5 dibagi 37 dan provinsi dapat 10 persen. Menurut saya skema proporsi dari aturan ini masih kurang berpihak," tambah politisi PDI Perjuangan itu.
Dikatakan Fauzi, idealnya, jumlah DBH Migas yang diperoleh kabupaten Sumenep adalah 6 persen. Besaran prosentase itu dinilai cukup imbang, karena dalam UU No. 1 tahun 2022 disebutkan bahwa DBH Migas yang dibagikan pemerintah ke daerah penghasil, pada eksplorasi dibawah 4 mil mencapai 13 persen.
Jumlah itu dirasa adil karena akan berdampak sistemik bagi masyarakat, sehingga bisa mengurangi angka kemiskinan di wilayah Madura.
"Paling tidak daerah penghasil kan dapat 6 persen kan itu masih lumayan. Tapi semuanya saya serahkan kepada pemerintah pusat. Tapi kan pemerintah daerah sama keinginannya. Kita boleh dong menyampaikan aspirasi ini ke pemerintah pusat. Revisi UU itu belum berdampak sistemik bagi daerah," tambah bupati yang gemar memakai blangkon itu.
Di Pulau Madura sendiri, kata Fauzi, saat ini ada 3 perusahaan eksplorasi yang beroperasi. Yakni Kangean Energi Indonesia Ltd (KEI), Husky CNOOC Madura Limited (HCML), dan Medco Energi Internasional Tbk.
PT Energi Mineral Langgeng (EML) juga sedang berjuang untuk bisa memproduksi dengan melakukan pengeboran sumur eksploitasi ENC-02 di Desa Tanjung, Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait