Lulus Kedokteran Unusa Tidak Mudah, Pintar Saja Tidak Cukup, Ini Syarat agar Bisa Yudisium

Ali
Dokter Diaz Syafie Abdillah, mengungkapkan tentang syarat bagi mahasiswa yang menjalani pendidikan profesi dokter di Unusa. Foto/Humas Unusa

SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) baru saja melantik dan mengambil sumpah 16 dokter baru Peserta Pendidikan Profesi Dokter Unusa, di Kampus B Jl. Jemurasri Surabaya, Jawa Timur, Kamis (26/1/2023). Mereka adalah angkatan ke-6 yang dikukuhkan menjadi dokter setelah mengikuti Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD).

Mengulik salah satu lulusan, ternyata untuk bisa lulus kedokteran Unusa tidak mudah. Unusa menerapkan kebijakan yang berbeda dengan kampus lainnya.

Dokter Diaz Syafie Abdillah, satu diantaranya yang mengungkapkan tentang syarat bagi mahasiswa yang menjalani pendidikan profesi dokter di Unusa.  

Ia mengungkapkan, setiap lulusan dokter Unusa dituntut untuk bisa menghafal doa-doa harian. Kata dia, di Unusa, selain belajar kedokteran, juga dituntun untuk menghafal doa-doa harian, khususnya saat di rumah sakit, serta menghafal surat pendek Juz 30. 

"Karena sebagai syarat saat yudisium. Meskipun agak berat namun jika sudah terbiasa hal itu menjadi ringan. Itulah tantangan yang spesial bagi saya,” ungkapnya.

Diaz merupakan mahasiswa profesi dokter Unusa yang baru saja dilantik dan diambil sumpahnya sebagai dokter. Selama menjalani studi, banyak kesan yang membuat dirinya akan selalu mengenangnya.

Anak pertama dari empat bersaudara ini mengungkapkan, pendidikan profesi dokter terbagi menjadi tahun pertama dan tahun kedua. Di tahun pertama, mungkin momok bagi kalangan dokter muda adalah stase Ilmu Penyakit Dalam,  yang mana pada stase ini, dia mempelajari banyak hal mulai dari penyakit ringan hingga sampai penyakit yang berat. Tapi disitulah tantangnya.
 
“Kami seperti memancing sebuah ilmu, namun yang didapatkan sangat besar dan bermanfaat. Terutama saat pengalaman jaga di Instalasi Gawat Darurat (IGD) serta di lokasi Poli, bersama dokter penyakit dalam,” ucapnya.

Pria kelahiran, 6 Desember 1997 ini melanjutkan, pada tahun kedua lokasi stase berada di ruang operasi atau Operatie Kamer (OK), di sini merupakan spot foto yang instragambel, hampir semua dokter muda yang stase di OK wajib untuk berfoto, baik ketika jadi asisten operasi atau saat waktu senggang. 

“Bagi saya, stase ini merupakan stase yang terbaik, khususnya stase bedah, banyak sekali pengalaman menarik selama stase ini, mulai pengalaman melihat operasi mayor, seperti membuka tempurung kepala, mengambil batu di ginjal, dan operasi-operasi lainnya,” terangnya.

Putra pertama dari pasangan H. Choirul Bachtiar dan Hj. Lailatus Sa’adah yang pernah menempuh pendidikan di SD Muhammadiyah Lamongan ini menyampaikan, bahwa selama menjalani studi profesi dokter, dirinya dan mungkin juga teman sejawat lainnya mengalami tantangan untuk menyelesaikan studi tersebut, setiap hari merupakan tantangan baru yang harus siap dihadapi. 

"Karena, ketika mahasiswa sudah di dekat konsulen, kami siap untuk ditanyai mengenai kondisi pasien, baik tentang mekanisme penyakit, riwayatnya, dan cara edukasi yang baik ke pasien. Jika tidak bisa, mungkin terdapat hukuman, yang tiap konsulen berbeda dalam cara memberi menghukumnya," ujarnya.

Pria yang juga menjadi Anggota Dewan Pengawas Organisasi di Nahdlatul Ulama Medical Student Association (NUMSA) 2022 sampai sekarang, menceritakan awal masuk pendidikan profesi sangat senang. 

Bagaimana tidak, waktu dulu melihat kakak tingkat memakai seragam jaga warna biru, merasakan jaga di IGD, dapat berinteraksi langsung dengan pasien, itu semua merupakan suatu impian saat akhir-akhir masa preklinik (sarjana). Dua tahun menjadi seorang dokter muda, yang mana masih belum dikatakan dokter, namun juga bukan mahasiswa S1 lagi. 

“Situasi itu seakan berada disebuah Samudra dengan naik kapal yang ingin menuju ketepian. Saya sangat bangga sekali bisa memperoleh ilmu di Unusa, RSI Jemursari, RSI A. Yani, dan RS jejaring lainnya. Pengalaman selama dua tahun ini, akan terpatri saat saya sudah lulus dan dilantik sebagai dokter,” ungkapnya.

Dimarahi Dosen

Diaz menambahkan, pengalaman saat dimarahi dosen menjadi ingatan yang selalu terkenang, waktu diawa pendidikan profesi, ketika itu ia masih belum menemukan jati dirinya, masih berasa seperti pendidikan sarjana. Alhasil, dirinya malu di depan pasien, karena dapat teguran dari dosen. 

“Ini selalu saya ingat. Tapi sejak itu saya bertekad untuk mengubah pola pikir dan belajar, agar menjadi lebih baik. Alhamdulillah, dari pengalaman dimarahi diawal pendidikan profesi tersebut, telah berbuah manis pada hari ini. Saya percaya, niat dosen saya dahulu untuk menegur, bukan berarti tidak sayang kepada saya, namun beliau ingin saya juga mahasiswa profesi lainnya menjadi pribadi yang tangguh dan selalu terus berusah lebih baik,” ungkapnya.

Menjadi dokter adalah pilihan yang Diaz ambil, karena sudah menjadi impiannya sejak kecil. Tenyata Allah memberikan jalannya, melalui orang tua yang mendukung baik dari segi moril dan materiil. 

“Menjadi seorang dokter selain impian saya sejak kecil, juga ingin dapat berguna bagi masyarakat sekitar, khususnya keluarga sendiri, mungkin agak klise, tapi alasan itulah yang membuat saya bisa sampai pada titik ini,” jelasnya.

Bagi Diaz, semua itu tidak lepas peran dan dukungan orang tua atau keluarga, sehingga ia bisa menyelesaikan Pendidikan Profesi Dokter. Orang tua selalu mendukung dan mendoakan. 

"Ketika ujian tiba, tak lupa orang tua mendoakan saya agar di permudah ujiannya,” tutupnya.
 

Editor : Ali Masduki

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network