"Siapa santri ini? Yaitu orang-orang yang sungguh-sungguh berpegang kepada ilmu pengetahuan dan adab. Saya kira ini gagasan yang menarik. Beliau bilang, kita ndak usah islamisasi, santrinisasi saja. Itu yang beliau katakana kemarin," lanjutnya.
Gus Yahya mengartikan, kalau wacana itu ditangkap sebagai substansi maka NU lalu menemukan satu cara pandang tentang santri bukan sebagai kelompok atau identitas kelompok, tetapi sebagai nilai, yaitu ilmu pengetahuan dan adab.
"Kami harus memproses ini. Saya kira, ini akan selaras juga dengan agenda-agenda yang kita pikirkan di PBNU," pungkasnya.
Sebelumnya, Wapres menegaskan, yang dimaksud santrinisasi bukanlah Islamisasi, karena hal ini akan mengganggu kerukunan umat beragama di Indonesia. Namun, santrinisasi lebih kepada menjadi umat terbaik dengan mengamalkan kebaikan yang sesuai dengan prinsip-prinsip NU.
"Umat yang terbaik yang mampu melakukan amal ma'ruf sesuai dengan cara-cara dakwah Nahdliyah. Dan juga membangun umat yang kuat, ummatan qawiyyan dan juga umat yang memiliki ketangguhan, resilience," tegasnya.
Dengan berpedoman pada prinsip-prinsip tersebut, Wapres pun mengajak Nahdliyin untuk tetap mengamalkan kebaikan secara berkelanjutan (sustainable improvement).
Menutup sambutannya, Wapres berpesan, agar dalam memasuki abad ke-2 ini, NU perlu menyiapkan langkah-langkah strategis yang lebih menantang, baik di tingkat nasional maupun global.
"Karena itu saya kira, kita memasuki abad kedua, seratus tahun kedua, maka kita perlu menyiapkan langkah-langkah, khutuwat islahiyah, insyithah islahiyah, yang lebih tajam lagi, yang lebih mengarah lagi sesuai dengan tantangan yang kita hadapi baik pada tingkatan keumatan, kebangsaan dan kenegaraan maupun pada tantangan yang sifatnya global," pungkas Wapres.
Editor : Arif Ardliyanto