SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Menjelang pemilihan umum yang akan dilaksanakan serentak pada tahun 2024, calon anggota legislatif (caleg) mulai tebar pesona. Beragam cara mereka lakukan agar bisa melenggang di parlemen.
Maklum saja, selain gaji dan fasilitas yang menggiurkan, menjadi anggota dewan juga memiliki tugas dan wewenang yang terhormat. Diantaranya ikut membentuk peraturan daerah bersama Kepala Daerah hingga membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah yang diajukan oleh Kepala Daerah.
Disisi lain, wewenang yang harusnya digunakan untuk kepentingan rakyat terkadang disalahgunakan demi kepentingan pribadi. Pejabat publik ini bahkan menjadi aktor yang marak terjerat dalam kasus-kasus korupsi.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, dari 533 kasus korupsi yang ditindak oleh aparat penegak hukum pada tahun 2021, terdapat 1.173 tersangka yang sebagian besarnya merupakan pejabat publik.
Pemantauan ICW sepanjang 2003 – 2022 turut menunjukkan sedikitnya 167 kepala daerah tersangkut kasus korupsi dan ditangani oleh KPK. Jumlah tersebut berpotensi lebih besar jika diakumulasikan dengan kasus yang ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Pemantauan ICW terhadap kasus korupsi anggota legislatif sepanjang 2014 – 2019 juga menunjukkan terdapat 22 anggota DPR RI terjerat kasus korupsi.
Menurut ICW, pejabat publik dan korupsi memiliki kaitan erat. Hal ini dikarenakan pejabat publik memiliki kewenangan besar dan berpotensi menyalahgunakannya. Dalam banyak kasus korupsi, pejabat publik kerap berkongkalikong dengan pejabat publik lainnya, maupun pihak lain seperti pebisnis.
Berlatar belakang hal tersebut, ICW melaksanakan studi kasus korupsi terkait dengan bisnis sumber daya alam di tiga provinsi yaitu DKI Jakarta, Provinsi Jawa Timur, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Di kawasan Jawa Timur, ICW menggandeng Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya sebagai mitra daerah.
Dalam lima bulan terakhir, ICW dan AJI Surabaya melakukan riset mengenai dugaan potensi Conflict of Interest (CoI) anggota DPRD Jawa Timur dalam menyusun rancangan peraturan daerah (raperda), khususnya tentang Rencana Tata Ruang Wilayah. Di dalam raperda itu masuk pasal-pasal tentang pengaturan pengelolaan sumber daya alam.
Riset ini juga menyoroti CoI anggota DPRD Jawa Timur dalam sektor lain, seperti penyaluran dana hibah P2SEM beberapa tahun lalu yang berujung pada ranah hukum.
Hasilnya, dari hasil penelusuran 21 Anggota Komisi D DPRD Jatim yang membidangi persoalan pembangunan, termasuk tata ruang wilayah, Tim Penitili AJI menemukan ada tiga anggota yang terindikasi terlibat konflik kepentingan. Satu orang punya kepentingan di bidang non sumber daya alam, dan dua orang berbisnis di sumber daya alam.
Tim Penitili AJI Surabaya, Petrus Risky menyebut, anggota dewan yang terindikasi terlibat konflik kepentingan itu bahkan sudah dikenal sepak terjangnya oleh masyarakat. Di Lumajang misalnya, ada anggota dewan yang mengelola tambang.
“Di Lumajang ada seorang sumber kami mengatakan, itu bukan rahasia umum (tambang) ini punya bapak ini dari Komisi D, di Blitar juga sama. Si bapak punya track record kaitannya dengan tambang,” ungkapnya.
Riset berlangsung selama lima bulan, mulai Oktober 2022 hingga Februari 2023. Fokus penelitian ICW mengulas tentang bentuk-bentuk konflik kepentingan kasus-kasus tindak pidana korupsi yang ditangani aparat penegak hukum dan sudah keluar putusannya (inkracht).
Petrus mengatakan, metode penggalian data berupa identifikasi profil anggota DPRD Jatim terkait afiliasi bisnis sumber daya alam dan data LHKPN mereka.
"Kami melakukan pencarian data sektor SDA di Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkumham. Misalnya, mencari informasi mengenai apakah ada anggota legislatif yang saat ini masih aktif menjabat di suatu perusahaan. Sementara itu, dari sisi pemberitaan, kami mencari data-data sekunder untuk menguatkan analisa data kami," terangnya.
Dua landasan hukum digunakan dalam penelitian ini yaitu UU 30/2014 tentang administrasi pemerintahan dan panduan konflik penyelenggara negara.
Pada UU administrasi pemerintahan disentuh mengenai kondisi pejabat yang memiliki konflik pribadi dengan wewenangnya sebagai pejabat yang dapat memengaruhi kualitas dan netralitas posisi dia sebagai pejabat publik. Bahwa pejabat yang berpotensi memiliki konflik kepentingan dilarang membuat keputusan dalam penyusunan suatu peraturan.
"Ketika mengetahui dirinya dengan jabatan publik yang melekat padanya, sedangkan dia mengetahui bahwa ada afiliasi bisnisnya yang harus dideklarasikan, sesuai peraturan tersebut seharusnya dia tidak ikut mengambil keputusan," tegasnya.
Riset ini bertujuan mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap proses pembentukan peraturan yang menyangkut kepentingan publik, agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan para pejabat publik untuk kepentingan pribadinya.
Pada pemaparan hasil riset ini dihadirkan penanggap Seira Tamara dari Divisi Korupsi Politik ICW, Mathur Husyairi selaku anggota DPRD Jatim dari Partai Bulan Bintang, dan Umar Solahuddin sebagai Direktur Eksekutif Parliament Watch Jatim.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait