Mitos Epilepsi Menular Terkuak, Ini Penjelasan Dokter Spesialis Bedah Saraf National Hospital

Ali
Dari kanan kekiri, Dokter Heri Subianto SpBS (K), dr. Neimy Novitasari,Sp.N dan Arvin Widiawan menjelaskan tentang penyakit epilepsi saat Ngabuburit Memperingati hari Epilepsi, di National Hospital Surabaya, Rabu (29/3/2023). Foto: iNewsSurabaya.id/Ali Masduki

SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Penderita epilepsi kerap menjadi gunjingan di tengah-tengah masyarakat. Sebagian orang masih menganggap bahwa penyakit tersebut bisa menular dari buih air liur. 

Dokter Heri Subianto SpBS (K), dokter spesialis bedah saraf di Surabaya Neuroscience Institue/ SNei National Hospital Surabaya menuturkan, anggapan masyarakat mengenai epilepsi menular adalah salah. Epilepsi, kata dia, merupakan penyakit pada saraf yang kronis dan tidak mengenal jenis kelamin.

"Epilepsi bukan penyakit menular dan tidak seharusnya dikucilkan," tuturnya disela Ngabuburit Memperingati hari Epilepsi, di National Hospital Surabaya, Rabu (29/3/2023).

Kegiatan yang dikemas dengan talkshow epilepsi bertajuk Epilepsi: Kawan atau Lawan? ini juga menghadirkan dr. Neimy Novitasari,Sp.N dan Arvin Widiawan. Arvin adalah survival epilepsi sekaligus penulis buku Epilepsi: Kawan atau Lawan.

Menurut Dokter Heri, pengidap epilepsi bahkan tetap bisa berkarya seperti orang pada umumnya. Mereka bisa berprestasi seperti yang lain. Salah satunya Arvin Widiawan (penulis buku Epilepsi: Kawan Atau Lawan).

Hanya saja, terkait bisa sembuh atau tidaknya penyakit epilepsi, Dokter Heri mengatakan tergantung kriterianya. Untuk kriteria tertentu, evaluasinya panjang hingga 10 tahun. 

Penyakit epilepsi bisa di kontrol dengan obat, bahkan bisa dilakukan tindakan dengan bedah layaknya penyakit lainnya. Hal itu dilakukan jika obat tidak mampu mengontrolnya.

"Jika 5 tahun pertama dikontrol obat gak ada kejang, kemudian 5 tahun berikutnya tanpa obat gak kejang, maka itu bisa dikatakan sembuh," ungkapnya. Dengan rentang waktu yang lama, maka penderita epilepsi membutuhkan dukungan dari keluarga, lingkungan sekitar dan masyarakat umum. 

Dokter Heri melanjutkan, National Hospital Surabaya terus berupaya memberikan pelayanan dan edukasi kesehatan secara excellence dan maksimal. 
National Hospital Surabaya memiliki layanan epilepsy center yang menjadi salah satu service of execellence. Tim medis di National bernama Surabaya Neurologi.

Lantas apa gejala umum penderita epilepsi? Dokter Heri menyebut, gejalanya yakni kejang-kejang. Namun, ketika ada orang yang mengalami kejang belum tentu mengidap epilepsi. Karena faktor penyebab banyak. Seperti trauma benturan kepala atau tumor di kepala. 

"Apabila kejang terjadi kepada anak, penyebab paling umum yakni mereka Jahir secara prematur dan terlahir dengan kelainan otak. Akan tetapi, penyebab utama epilepsy adalah pola aktivitas listrik tidak normal di otak," terangnya. 

Berdasarkan data yang dirangkum sejak tahun lalu, rumah sakit mencatat lebih kurang ribuan pasien telah mendapatkan pelayanan secara excellence di National Hospital. Perlu diketahui, pada tahun lalu, estimasi jumlah pasien epilepsy di Indonesia sekitar 1,5 juta orang (secara nasional). Dengan prevalensi 0.5-0.6 persen dari penduduk Indonesia. 

Usia pasien epilepsy tergolong beragam. Mulai dari balita hingga usia 50 tahun ke atas. Tidak jarang, masyarakat awam masih beranggapan jika epilepsy Merupakan penyakit gangguan mental, kutukan, dan bisa sembuh sendiri. 

Selain itu, informasi penanganan medis masih belum diketahui secara luas. Karena itu, National Hospital berkomitmen untuk turut serta aktif menggelar purple day setiap tahunnya. Cara tersebut sebagai untuk meningkatkan kesadaran dunia terhadap epilepsy dan untuk menghilangkan mitos dan ketakutan umum akan gangguan neurologis tersebut. 

Kemudian bagaimana penanganan medis bagi pasien epilepsi? Pertama, pasien perlu konsultasi terlebih dulu dengan dokter. Setelah itu, pasien butuh skrining untuk mengetahui penyebab epilepsi. Skrining itu melalui MRI, EEG, dan PET Scan. 

"Skrining dilakukan atas saran dari dokter dan melihat kondisi pasien. Sangat penting, pasien mempunyai catatan atau histori terjadinya kejang. Sebab, catatan itu menjadi bahan evaluasi dari dokter yang menangani," kata Dokter Heri.

Selain itu, history tersebut bakal dijadikan sebagai penentu jenis/ tipe kejang. Setelah ditemukan jenis/ tipe kejang, dokter akan menentukan terapi yang tepat bagi pasien. Biasanya, terapi pertama diawali dengan pemberian obat-obatan anti epilepsy. Kemudian, kondisi pasien dievaluasi, apakah kejangnya terkontrol atau tidak. Nah, jika kejang tidak terkontrol, maka pasien direkomendasikan untuk tindakan operasi. 

Di National Hospital tersedia layanan khusus epilepsy. Yakni, Epilepsi Center (epic). Diresmikan sejak tahun lalu, EPIC menjadi fasilitas penanganan epilepsy secara komprehensif di Indonesia. Adapun fasilitas EPIC di Nathos memiliki MRI 3 TESLA dengan protoco! khusus. 

Lalu, EPIC juga memiliki fasilitas long term video EEG yang jarang dimiliki oleh rumah sakit lain di Indonesia. Fasilitas EPIC didukung oleh dokter spesialis saraf dan bedah saraf yang khusus mendalami epilepsi. Tentunya, perawat yang terlatih dalam mengoperasionalkan EEG.


 

Editor : Ali Masduki

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network