Selain konflik Aceh, Gus Dur juga melakukan pendekatan yang lebih humanis terkait konflik di Papua. Gus Dur yang berkunjung ke pada waktu itu bernama Irian Jaya bulan Desember 1999 saat itu berusaha untuk meyakinkan para pemimpin-pemimpin putera Papua untuk tetap bernaung dibawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Gus Dur juga mendorong penggunaan nama Irian Jaya diganti dengan nama Papua dan memberikan kesempatan untuk mengibarkan bendera bintang kejora asalkan berdampingan lebih rendah dengan bendera merah putih karena bagi Gus Dur selama itu hanyalah bendera kultural dan bukan bendera simbol politik maka pengibaran bendera bintang kejora bukanlah masalah yang serius.
Perjalanan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur selama menjadi presiden memang tidak lebih dari 2 tahun. Semasa menjadi presiden, Gus Dur tercatat melakukan perjalanan ke luar negeri kurang lebih dari 4 kali dalam sebulan dan selama 22 bulan kurang lebih 80 kali melakukan perjalanan ke luar negeri.
Namun ada alasan tersendiri bagi Gus Dur yaitu banyaknya kelompok separatis yang ada di Indonesia. Jadi menurut Gus Dur untuk meyakinkan berbagai negara bahwa integritas Indonesia masih ada.
Untuk merealisasikan agenda reformasi yang mulai berjalan sejak tahun 1998 dan untuk membersihkan sisa-sisa kekuatan orde baru, langkah awal yang dilakukan oleh Gus Dur adalah dengan mengganti Ketua Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara yaitu Parni Hadi diganti dengan Mohamad Sobary.
Pencopotan ini dilakukan karena adanya spekulasi bahwa Parni yang ditempatkan di LKBN Antara dianggap selalu mengamankan kebijakan yang dibuat oleh Presiden B.J. Habibie.
Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga melakukan agenda reformasi dikubu militer dan menjauhkan militer dari ruang sosial politik.
Hal ini dilakukan saat Gus Dur melakukan kunjungan ke Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan mengajukan permintaan kepada Jenderal Wiranto untuk mengundurkan diri dari Menteri Koordinasi Politik dan Keamanan karena Wiranto merupakan salah satu wajah lama Orde Baru. Menurut Gus Dur hal itu dapat menghambat jalannya agenda reformasi terhadap militer.
PBB juga melaporkan bahwa Wiranto telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Timor-Timur. Pada akhirnya permintaan Gus Dur ini dipenuhi oleh Wiranto yang kemudian Wiranto lebih aktif di partai politik.
Tidak lama setelah pencopotan Wiranto yaitu pada bulan Maret tahun 2000, Gus Dur mengangkat perwira militer yaitu Agus Wirahadikusuma. Menurut Gus Dur, Agus Wirahadikusuma adalah sosok perwira yang reformis.
Namun Langkah Gus Dur tersebut tidak disukai oleh beberapa pihak petinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Gebrakan yang dilakukan terhadap tubuh militer ini membuat hubungan Gus Dur dengan TNI mulai memburuk.
Memburuknya hubungan Gus Dur dengan TNI kian semakin parah setalah Gus Dur menuduh sejumlah oknum TNI ikut terlibat dalam membantu milisi Laskar Jihad dalam konflik Suku, Agama dan Ras (SARA) di Ambon.
Menurut Greg Barton, Penulis Buku “Biografi Gus Dur”, menyebutkan bahwa militer yang selama 32 tahun menjadi bagian dari kekuasaan rezim Orde Baru harus ditata ulang dan nepotisme di militer juga harus dihilangkan untuk mensukseskan agenda reformasi yang sedang berjalan.
Selain melakukan agenda reformasi dalam kubu militer, Gus Dur juga melakukan langkah reformasi dalam birokrasi pemerintahan. Dimana pada saat pemerintahan Orde Baru banyak terjadi praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang terjadi.
Langkah awal yang dilakukan Gus Dur adalah dengan menempatkan orang-orang yang memiliki kredibiltas dalam keahlian dan keabsahan serta memiliki moral yang baik demi mewujudkan cita-cita reformasi.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait