Ziarah ke makam merupakan salah satu tradisi menjelang Ramadan dan Idul Fitri yang masih dilestarikan hingga saat ini.
Berikut macam-macam tradisi ziarah ke makam yang dirangkum iNewsSurabaya.id :
Nyekar
Masyarakat Jawa dan Betawi menyebut tradisi ziarah ke makam sebagai nyekar, seperti dikutip dari laman Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DKI Jakarta.
Nyekar merupakan kegiatan ziarah, mendoakan orang tua, keluarga, atau sanak saudara yang telah wafat. Selain berdoa, peziarah juga datang membawa bunga melati, mawar, air mawar untuk ditaburkan ke tanah makam.
Ruwahan
Ruwahan berasal dari kata ruwah, yakni bulan ke delapan dalam penanggalan Jawa. Ruwah bertepatan dengan Sya’ban dalam kalender Islam, yang jatuh tepat sebelum Ramadan.
Oleh sebab itu, tradisi ruwahan berasal dari masyarakat Jawa, seperti dikutip dari laman Pemerintah Kota Yogyakarta. Dalam tradisi ruwahan ini, masyarakat Jawa mengunjungi makam keluarga atau sanak saudara untuk mengirimkan doa.
Ruwah juga berasal dari bahasa Arab, yakni ruh atau bentuk kata jamak dari arwah, yang berarti jiwa atau roh. Karenanya, masyarakat Jawa mengisi bulan Ruwah dengan berbagai kegiatan yang menjadi pengingat kematian, seperti ziarah kubur dan mendoakan keluarga yang telah meninggal dunia.
Nyadran atau sadranan
Selain ruwahan, tradisi ziarah ke makam di kalangan masyarakat Jawa juga dikenal sebagai nyadran atau sadranan. Namun, sebagian pendapat mengatakan bahwa nyadran merupakan rangkaian ziarah kubur dan kenduri. Berdasarkan informasi dari laman Kapanewon Samigaluh Kabupaten Kulon Progo, rangkaian nyadran meliputi pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan kenduri di masjid atau rumah kepala dukuh setempat.
Munggahan
Masyarakat muslim Sunda mengenal ziarah ke makam sebelum puasa sebagai munggahan, seperti dikutip dari laman Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung. Munggahan berasal dari kata bahasa Sunda munggah yang artinya naik secara harfiah, atau bermakna naik ke bulan suci yang derajatnya lebih tinggi.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait