Tak tahan dengan situasi tersebut, ia memutuskan untuk pergi dari kampung dan melanjutkan hidupnya di Pasar Senen sebagai pengamen dan preman.
"Saya meninggalkan kampung juga karena sering terlibat pertikaian dan keributan. Saya bahkan terlibat dalam duel di siang hari dengan senjata tajam di jalan raya. Alhamdulillah, akhirnya mereka berdua yang melarikan diri," ucapnya.
Akibat perbuatannya itu, Iksan seringkali berurusan dengan polisi. Orang tuanya sering dikunjungi oleh polisi, dan akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya.
"Jadi saya pergi dari kampung hanya dengan membawa satu gitar. Saya bisa meminjamkan gitar itu kepada teman-teman, dan membawa uang seribu perak pada tahun 1998-1999," ungkapnya.
Pindah ke Pasar Senen tidak serta merta membuat hidupnya menjadi lebih mudah. Ia mengaku bahwa ia pernah dipukuli oleh preman di terminal hanya beberapa hari setelah kedatangannya.
"Saya memutuskan untuk mencoba berjualan di terminal. Pada hari pertama dan kedua, saya aman saat menjadi pengamen. Namun, pada hari ketiga, saya menjadi sasaran pemukulan dari sekelompok anak-anak. Gitar yang saya pinjam dari kampung itu rusak karena digunakan untuk memukul botol dan batu. Akhirnya, polisi menembak ke udara untuk membubarkan mereka," ujar Iksan.
Dengan pengalaman dan kehidupan yang keras selama bertahun-tahun, Iksan akhirnya menjadi seorang preman besar di terminal dan memiliki pengaruh di banyak area.
Namun demikian, Iksan mengaku bahwa ia mendapatkan pencerahan setelah perjalanan spiritualnya. Setelah bertaubat, Iksan akhirnya meninggalkan profesi sebagai preman.
"Akhirnya, saya mulai belajar bisnis dari menjadi pedagang asongan. Setelah saya berhenti dari kehidupan sebagai seniman jalanan, saya memulai belajar dari situ," ungkapnya.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta
Artikel Terkait