JAKARTA, iNewsSurabaya.id - Pengamat Ekonomi, Bhima Yudistira menyoroti obral insentif pemberian fasilitas di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang dinilai justru malah kontraproduktif.
Berbagai fasilitas yang disiapkan oleh pemerintah, mulai dari obral tax holiday, tax allowance yang disalurkan ke KEK malah tidak memberikan sumbangan signifikan, rasio pajak jelek dan kontribusi PDB nya tidak sepadan.
“Jadi memang ada yang tidak sepadan dengan banyaknya tax holidy, tax allowance yang disalurkan pemerintah untuk memikat investasi agar datang ke kawasan ekonomi khusus,” jelas Bhima Yudistira kepada media, 22 Juli 2023.
Menurutnya konsep KEK yang ada di Indonesia agar berbeda dengan KEK yang ada di China maupun Vietnam. Jika di kedua negara tersebut, pemerintah daerah proaktif, dengan membuat program-program insentif yang spesifik.
“Bukan dengan obral insentif, semua pajak dikasih, izin lahan juga ngga harus dikasih dalam jangka panjang, tergantung kebutuhan investor,”tutur ekonom indef ini.
Sementara pendekatan yang dilakukan di Indonesia, cenderung untuk menebar insentif, akhirnya berdampak pada rasio pajak yang jelek, menjadi turun, sedangkan dari segi kontribusi ke PDB nya ternyata juga tidak signifikan.
“Ini menjadi pertanyaan besar bahwa kebijakan KEK harus di evaluasi,”jelasnya.
Menurut Bhima banyak hal yang harus dibenahi, mulai dari infrastruktur dasar, akses transportasi, stabilitas pasokan listrik, ketersediaan air bersih. Selain itu bahwa KEK harus mendekati bahan baku juga tidak mudah.
Sebagai contoh, misalnya dekat bahan baku CPO, namun di sisi lain ternyata biaya logistiknya mahal untuk ke pelabuhan atau ekspor atau untuk ke pengolahan industri lanjutan.
Sedangkan KEK pariwisata masih banyak yang belum optimal baik manajemen dan tata kelolanya. Pemerintah Daerah seharusnya mengambil peran lebih besar dalam ikut serta mengelola KEK agar bisa lebih maksimal.
Termasuk dengan kualitas dan kapasitas SDM untuk bekerja di KEK juga harus dibenahi. Karena banyak SDM di daerah yang belum siap, akhirnya mereka yang bekerja di KEK berasal dari daerah lain.
“Tidak semua KEK harusnya di aprrove, karena buat apa, potensi daerah berbeda-beda, dan tidak harus selalu dalam bentuk KEK,” jelasnya.
Sementara M. Nalar, ekonom dan peneliti dari Sigmaphi menyampaikan bahwa pemberian status KEK harus mempertimbangkan masyarakat yang ada di sekitarnya. Jika ada penolakan-penolakan dan kesepakatan yang tidak jalan, maka sebaiknya status harus di evaluasi. Sebagai contoh adalah KEK Kura-Kura Bali, yang dikelola oleh PT Bali Turtle Island Development (BTID).
“Adanya pro dan kontra dari masyarakat sekitar karena dianggap masyarakat tidak menerima manfaat, terus kemudian nelayan jadi susah mengambil ikan di sekitaran wilayah KEK. Jadi kan kita pertanyakan,” jelasnya.
Magister Kebijakan Publik di Universitas Indonesia itu juga menilai, berbagai penolakan yang menyelimuti KEK Kura-Kura Bali seolah-olah memunculkan pertanyaan, apakah KEK Kura-Kura Bali sudah berjalan sesuai aturan atau belum.
“Kalau misalnya memang tidak ada (penolakan), semua pihak sudah sepakat. Sebagai pengamat ekonomi kita lihat, apakah memang perlu dilihat lagi mekanismenya lagi atau sudah berjalan sesuai dengan aturan, bagaimana kesepakatan itu didapatkan,” tutur Nalar.
KEK Kura-Kura Bali adalah salah satu KEK yang ada di Provinsi Bali. Pada tanggal 5 April 2023, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan Kura-Kura Bali sebagai KEK melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kawasan Ekonomi Khusus Kura-Kura Bali.
Dalam PP itu, disebutkan bahwa KEK Kura-Kura Bali memiliki luas 498 hektare yang masuk dalam wilayah Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali.
Kendati demikian, langkah BTID untuk memperoleh status KEK itu bukan tanpa penolakan. Eksklusivitas hingga hilangnya manfaat bagi masyarakat, khususnya nelayan, menjadi alasan penolakan mega proyek yang berada di wilayah Desa Adat Serangan. Sejumlah masyarakat juga menuntut pengembalian lahan seperti semula dengan melakukan upaya hukum.
Menurut sarjana Ilmu Ekonomi di Universitas Diponegoro ini, masyarakat sekitar Pulau Serangan seolah-olah dihadapkan dengan sebuah barrier atau penghalang ketika kawasan tersebut ditetapkan sebagai KEK. Jika hal ini terjadi, lanjut Nalar, proses berjalannya KEK itu patut dikaji kembali.
“Kalau misalnya akibat barrier itu misalnya nelayan susah dalam mencari mata pencahariannya, mendapatkan ikan untuk dijual, nah ini kemudian dipertanyakan. Jadi hal-hal seperti ini seharusnya dikaji lagi pemerintah, apakah memang prosesnya sudah berjalan dengan benar atau belum, karena masih kita temukan bahwa ada masalah,” tutur Nalar.
Melihat kondisi tersebut, Nalar pun melihat keberadaan KEK Kura-Kura Bali ini hanya menguntungkan bagi para turis saja.
“Jangan-jangan masyarakat Bali di sekitarnya, Denpasar khususnya, itu tidak menerima manfaat. Dari KEK yang menerima manfaat ini hanya turis,” pungkasnya.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait