Peringatan Maulid Nabi Muhammad, SAW di Pulau Bawean dirayakan di Dusun Duku Desa Sungairujing Kecamatan Sangkapura, Gresik. Perayaan ini dilakukan, Kamis, 12 Rabiul Awal 1445 H atau 28 September 2023 dengan cara khidmat, bersahaja, dan bercorak konservasi yaitu konservasi budaya.
Kekuatan warga dalam hal mempertahankan tradisi yang dianggap baik dan bermakna mendalam secara filosofi patut mendapat apresiasi yang cukup membanggakan.
Ibaratnya, sebuah tradisi yang bernilai kebaikan tetap tak boleh lekam oleh panas dan tak boleh lapuk oleh hujan hingga akhir zaman. Kemajuan ilmu dan teknologi modern yang menjadi kenyataan memang tak dapat dipungkiri keberadaannya. Akan tetapi, modern yang dianggap melanda dunia tak kan mampu menggerus dan menghilangkan tradisi bernilai kebaikan tersebut.
Salah satu tradisi tahunan yang menjadi sebuah keharusan untuk diperingati yakni perayaan Maulid Nabi Muhammad, SAW. Secara logat kata peringatan cukup dimaknai sederhana dari kata dasar "ingat" dengan imbuhan gabungan atau konfiks per-an. Intinya, tetap ingat secara serentak di seluruh dunia atas kelahiran Baginda Rasulullah Muhammad, SAW sebagai rahmat bagi sekalian alam.
Bila dikupas secara mendalam tentang peringatan Maulid Nabi Muhammad, SAW awal kemunculannya di muka bumi digagas oleh khalifah Al Mudaffar dengan cara mengundang delegasi dari pemimpin umat Islam di seluruh dunia yang seperti tercerai berai dan terbuai dengan euforia panjang setelah kejayaan umat Islam menang dalam perang salib yang dikomandani oleh Salahuddin Al Ayyubi.
Khalifah Al Mudaffar tidak hanya sekadar mengundang para delegasi itu, akan tetapi juga mengeluarkan uang dari kocek pribadinya untuk "ngangka'E" atau menghidangkan sebagai jamuan para delegasi umat Islam dari seluruh dunia.
Sampai saat ini masih ada, bahkan banyak para orang kaya dermawan merayakan peringatan Maulid Nabi Muhammad, SAW. secara mandiri dengan "ngaka'E" warganya dengan "bherkat" Maulid yang nilai isi suguhannya benar-benar sedekah besar.
Kini, sedikit berbeda tentang masalah "angka'an bherkat" Maulid yakni dengan prinsip dari warga, oleh warga, dan untuk warga itu sendiri. Maka dari itulah tiadalah patut mengeluh saat sama-sama mengangkat yang relatif besar secara nominal pembiayaan karena pada akhirnya kembali ke warga juga dengan dasar disepakati bersama jauh sebelumnya mengenai pakem yang sudah ditularkan secara turun-temurun itu.
Jika hal demikian masih bisa dipertahankan oleh anak cucu hingga akhir zaman, warga dimaksud akan berkarakter tanpa harus tercerabut dari budaya atau tradisinya sendiri. Sekilas patut ditiru kekuatan warga keraton di Jogjakarta dengan peringatan Maulid Nabi bertajuk "Sekaten" atau syahadatain dengan bherkat atau angka'annya tetap apem penuh keberkahan dalam acara "ngalap berkah" yang pernah apem buatan Nabi Nuh As tersebut dijadikan dalam bagis siapa saja yang mampu menemukan empat papan untuk menyelesaikan pembuatan perahu penyelamat umat manusia dari kepunahan dari muka bumi.
Rupanya, warga Dusun Duku juga memiliki jiwa konservasi dalam mempertahan tradisi yang dianggap memiliki nilai-nilai kebaikan. Tiga maskot paling menonjol terlihat kentaranya berupa kuliner rangghinang, telur, dan tongghul. Beberapa kiai menuturkan bahwa hakikat makna dari pemasangan rangghinang memiliki makna yang mendalam.
Secara etimologi, nama rangghinang berasal dari serapan Bahasa Arab yakni dari kata "ro'i" yang berarti ngurus sopo uwong atau mengurus siapa orang dan "addinun" yang berarti "agama". Jadi, warga yang mau bermaulid tak ubahnya mengurus agama dalam bingkai kekompakan dan persatuan.
Hal ini terlihat dari bahan rangghinang itu sendiri berupa beras ketan yang sifatnya merekat antara butir satu dengan butir lainnya. Demikian pula dengan umat Islam harus tetap kompak bersatu walau beda aliran atau madzhab sekalipun. Jangan ada bahasa rangghinang dianggap mubadzir karena tak dimakan lagi sehingga ditinggalkan begitu saja.
Manusia diberkati dengan akal nalar untuk tetap dan terus memodifikasi wujud dan rasa rangghinang dengan toping bernilai kekinian sehingga tetap disukai tanpa kehilangan karakter asli rangghinang itu sendiri.
Jangan ada alasan mubadzir karena sudah tak dimakan lagi. Sungguh dangkal pola nalarnya dalam memaknai sebuah simbol. Siapa yang mau makan apem di zaman kekinian sebelum mengerti rahasia di balik apem itu sendiri.
Simbol lain yang sedikit perlu dicerahkan tentang bunga telur atau cocok telur sejumlah dua belas butir berkitar di angka'an tersebut. Jumlah dua belas mengingatkan tanggal kelahiran Baginda Rasulullah, SAW. Telur merupakan asal kehidupan makhluk di muka bumi dalam generasi penerus.
Bila dicermati secara mendalam isi di dalam cangkang telur berupa putih telur dan kuning telur yang tak pernah bercampur satu sama lain. Ibaratnya umat Islam dengan umat lainnya hidup di dunia tetap bisa hidup bersama tanpa mencampur baur dengan prinsip "bagiku agamaku dan bagimu agamamu", kecuali telur busuk atau rusak saja yang bisa membaur dalam aqidah sekalipun terkadang.
Saat ini cocok telur diganti dengan sabun, minyak botolan, dan barang lain yang tak bermakna sama sekali atas ketidak mengertiannya terhadap makna dari simbol dimaksud.
Simbol lain yang harus ada dan tetap dipertahankan pemasangan "tongghul" di tengah-tengah angka'an atau "bherkat" sebagai hidangan dalam peringatan. Tongghul melambangkan sebagai simbul pemimpin yang harus tegak berdiri di tengah-tengah umatnya.
Menghilangkan tongghul maulid tak ubahnya membuang peran pemimpin yang tetap harus ada terutama "Uswatun Hasanah" sebagaimana Rasulullah Muhammad, SAW. sebagai suri tauladan terbaik. Wujud tongghul berupa bunga, ranting, dan daun indah penuh pesona sebagai daya tariknya.
Hal demikian menyatakan sejarah atau tarekh Islam yang dilambangkan "syajerah" yang patut dikenang dan diperingati hari kelahirannya sebagai "rahmatan lil alamin. Amin.
Penulis :
Sugriyanto
Budayawan Pulau Bawean juga Pegiat Masyarakat Adat Bawean
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait