Dia menambahkan, kasus-kasus hukum yang bisa diusahakan untuk mendapat restorative justice ini dapat mengurangi beban lapas dan rutan di Jatim. Apalagi, berdasarkan data Sistem Database Pemasyarakatan Publik Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham RI, per Desember 2022 Jatim mengalami kelebihan kapasitas hunian lapas sebesar 116 persen.
Begitu pula dengan jumlah perkara perdata dan pidana biasa di Pengadilan Negeri Kelas 1 A Khusus Surabaya saja mencapai tidak kurang dari 3.500 perkara per tahunnya.
Banyaknya perkara yang ditangani oleh Aparat Penegak Hukum (APH) tersebut, menurut data penyaluran dana bantuan hukum masyarakat miskin Pemprov Jatim tahun 2021-2022 didominasi permasalahan di lingkup keluarga sebesar 40 persen, penyalahgunaan narkotika sebesar 35 persen, dan tindak pidana umum seperti pencurian, penganiayaan, dan penggelapan sebesar 25 persen.
Meski demikian, Khofifah menekankan bahwa upaya-upaya ini bukan berarti ingin memberi kelonggaran terhadap pelaku. Untuk itu, pada kasus-kasus tertentu upaya penyelesaiannya tetap harus melibatkan APH, namun tetap diselesaikan di tingkat desa.
“Jadi Kajati (Kepala Kejaksaan Tinggi) aktivasi rumah restorative justice, Polda aktivasi omah rembug, dan Pemprov Jatim aktivasi Siskamling. Semua bertujuan untuk memberikan keamanan, ketertiban, dan kenyamanan bagi masyarakat,” tegasnya.
Sementara itu, Sekretaris Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Audy Murfi mengatakan, Jatim merupakan provinsi pertama dan satu-satunya yang menyelenggarakan Pelatihan Pra Paralegal Justice Award untuk Kepala Desa.
“Pelatihan ini sebagai persiapan Paralegal Justice Award 2024. Tahun-tahun sebelumnya pun banyak peserta yang berasal dari Jatim,” terangnya.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait