SURABAYA, iNews.id - Lahir dan dibesarkan oleh keluarga sederhana diujung Pulau Madura, Rif’atul Qiftiya ternyata mampu mewujudkan impiannya.
Rif’atul Qiftiya merupakan anak pertama dari 3 bersaudara. Ia berasal dari kota Sumenep, Jawa Timur. Demi masa depan, dia harus hidup mandiri dan terpisah dari orang tua.
Semenjak SMP, Qiftiya sudah dimasukkan di sebuah pesantren di Sumenep. Kemudian melanjutkan jenjang SMA ke SMA TRENSAINS. Sekolah yang memadukan antara ilmu pesantren dan sains tersebut bernaung di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur.
Hal itulah yang membuat putri pasangan Sahri dan Suhartini ini suka dunia kesehatan, khususnya bidang analis kesehatan.
“Orang tua saya selalu mendukung dan memberikan arahan dalam segala hal terlebih dalam hal pendidikan, mendukung dengan penuh tanggung jawab dan perjuangan dalam hal finansial, serta doa yang tiada henti untuk keberhasilan anak-anaknya,” ungkapnya.
Gadis berusia 23 tahun ini menuturkan, sejatinya motivasi terkuat yang ada tentu dari dirinya sendiri, untuk jadi apa dan seperti siapa.
Saat merasa kehilangan arah, mulai mengingat, menata ulang niat, proses kembali sadar, bahwa dirinya memiliki tanggung jawab serta impian yang harus dicapai.
Selain itu adanya support system dari orang terdekatnya seperti keluarga dan orang tua yang selalu ada tanpa spasi dan jeda untuknya.
Wisudawan terbaik dari Prodi D4 Analis Kesehatan ini memiliki prinsip hidup yang berpedoman pada filosofi, bahwa hakikat manusia hidup di dunia adalah memberi manfaat bagi manusia lainnya.
"Jadi, dalam doa saya tidak pernah lupa untuk meminta supaya bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi orang banyak, yang berguna bagi nusa, bangsa, dan agama. Karena banyak orang pintar, namun belum tentu memberi manfaat untuk sekitarnya,” terangnya.
Dilema Terus atau Berhenti
Perempuan yang semasa mahasiswa ini aktif di UKM Musik Unusa tersebut menceritakan, saat menempuh studi di D4 Analis Kesehatan di Unusa dirinya pernah merasa tidak berguna dan tidak bisa diandalkan.
Perang batin yang dia rasakan. Lantaran pada saat itu, ayahnya sedang sakit. Ayahnya didiagnosa mengidap Tumor Mediastinum Stadium 3, Tumor Paru dengan kondisi tumor menempel pada pembuluh darah.
Pada saat itu, dia masih semester 5, sehingga terlintas dalam pikirannya untuk berhenti dan menyerah. Tapi dia sadar bahwa itu bukanlah pilihan.
“Saya sadar pasti akan ada hikmah yang tersembunyi tiap sebuah cerita perjalanan pahit seseorang. Semua orang bisa mengeluh, tapi mungkin tidak semua orang bisa jalaninya. Karena semua itu ketetapan Allah, maka saya harus bisa berusaha dan terus berdoa serta saling menguatkan," kata dia.
"Apalagi saya melihat Ayah begitu semangat dan penuh optimistme untuk bisa sembuh dari penyakit yang diderita,” lanjutnya.
Sambil menitihkan airmata, Qiftiya bercerita saat itu kondisi ekonomi keluarga juga mulai terganggu. Satu persatu bisnis ayahnya mulai tutup.
"Tapi alhamdulillah karena kami ikhlas, terus berusaha dan berdoa, kini kondisi ayah terus membaik setelah menjalani operasi sebanyak 2 kali dan menjalani kemoterapi, hingga saat ini masih rawat jalan dan dalam pemantauan dokter,” ujarnya.
Tentang tugas akhirnya, Qiftiya mengungkapkan, jika dia meneliti tentang kadar karboksihemoglobin dalam darah penjual sate di Kec. Wonocolo berdasarkan lama paparan asap dari pembakaran sate.
“Karena penelitian ini dilakukan di tengah pandemi Covid-19, sehingga cukup susah untuk mendapatkan responden yang bersedia untuk diambil darah, selain itu karena kriteria responden yang digunakan adalah pedagang sate yang tidak merokok, menjadi lebih sulit lagi, karena rata-rata yang banyak ditemukan adalah perokok,” ungkapnya.
Perempuan yang pernah magang di RSI A Yani Surabaya ini berpesan kepada adik kelasnya, lulus kuliah memang membanggakan dan sangat melegakan. Tapi ingat, menjalani perkuliahan itu seperti menaiki anak tangga.
Terkadang dapat membuat terpeleset kembali ke anak tangga pertama jika terlena atau terpengaruh oleh lingkungan dengan arah hidup yang kurang positif, sehingga membuat lupa niat dan tujuan awal.
“Kuliah tidak hanya diukur dengan nilai, masih ada banyak yang bisa dipelajari di dunia kampus dari pada hanya sekadar apa yang ada di dalam kelas. Karena itu, jangan berpikir hanya karena nilai kita tidak bagus, maka tidak akan sukses. Dapatkan banyak pengalaman dan gali potensi diri,” pungkasnya
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait