SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Bulan Ramadan, saat yang paling dinantikan, kini hampir tiba. Meskipun awal pelaksanaan puasa mungkin berbeda-beda, namun pada akhirnya, semua akan merayakan Idul Fitri dengan penuh khidmat. Ini adalah bentuk demokrasi dalam agama, di mana keberagaman dipelihara dengan penuh rasa saling menghargai.
Menyongsong Ramadan, tradisi megengan menjadi bagian penting dalam mempersiapkan diri secara mental. Menurut Rois Syuriyah PCNU Kota Surabaya, KH Ahmad Zul Hilmy, megengan adalah momen untuk mengagungkan bulan yang dianggap suci dan penuh berkah. Tradisi ini tidak hanya menyatukan masyarakat, tetapi juga menyambungkan silaturahim antara rakyat dan kesultanan.
"Megengan, yang terjadi menjelang Ramadan, menjadi momen untuk menghormati arwah leluhur. Ini adalah saat di mana masyarakat Muslim Indonesia dari berbagai suku berkumpul di kuburan untuk mendoakan arwah yang telah meninggal," katanya.
Berdasarkan ajaran ulama-ulama salaf, dipercaya bahwa arwah-arwah ini mendapat istirahat dari alam kubur dan diizinkan untuk menjenguk keluarganya yang masih hidup.
Dari segi fiqih, megengan menandai kesiapan mental dalam menyambut Ramadan dengan sikap positif, seperti berderma dan berbagi dengan sesama. Ini tercermin dalam tradisi memberikan hidangan kepada tetangga dan menyebarkan pesan-pesan kebaikan melalui berbagai platform media sosial.
Tidak hanya dilaksanakan oleh umat Muslim, tradisi megengan juga diikuti oleh masyarakat non-Muslim. PCNU Kota Surabaya bahkan menyelenggarakan doa bersama dengan mengundang kyai-kyai dari berbagai tempat, bersama anak yatim, sebagai bagian dari semangat kebersamaan dalam menyambut bulan Ramadan.
Dengan begitu, megengan tidak hanya menjadi tradisi, tetapi juga momentum untuk mempererat hubungan antarwarga dan meningkatkan kebersamaan dalam kebaikan sosial.
Dalam tataran fiqih, megengan dipakai sebagai tanda kesiapan mental menyambut Ramadan. Yakni sikap positif berupa suka sedekah.
“Karena itu menjelang bulan puasa, dibuat hidangan untuk tetangga. Ater-ater hidangan berupa kue tradisional dan buah (kadang dengan nasi dan lauk-pauk sebagaimana kendurian), diantar ke tetangga terdekat,” jelas kyai Zul Hilmy, yang juga Imam utama masjid Agung Sunan Ampel Surabaya.
Pada zaman teknologi komunikasi saat ini, megengan juga disertai pesan pada akun WhatsApp, facebook, dan twitter. Juga berbagai posting di media sosial lain, termasuk youtube, dan TikTok. Isi pesan umumnya permohonan maaf kepada kerabat dan sahabat. Serta meng-ingatkan berbuat baik (ke-salehan sosial), saling tolong menolong. Maka gema Ramadan diagungkan bersama seluruh rakyat.
Termasuk di-ikuti masyarakat non-muslim.
Melaksanakan tradisi megengan, PCNU Kota Surabaya, menyelenggarakan doa bersama. “Kita undang kyai-kyai dari seluruh Ranting (Kelurahan) se-Surabaya, bersama anak yatim,” kata Sekretaris PCNU Kota Surabaya, Ir. H. Masduki Toha.
Acara ini diselenggarakan di kantor PCNU Kota Surabaya, juga dihadiri Kapolrestabes Surabaya, serta Kapolres KP3 Tanjuk Perak. Tujuan doa bersama, kata Masduki, sesuai visi megengan, yaitu kirim doa untuk arwah, terutama ulama-ulama Surabaya yang telah wafat.
“Harus kita akui, baru saja kita terguncang perbedaan politik. Nah saat ini kita persatukan kembali seluruh potensi Surabaya. Kembali guyub,” tambah Masduki.
Termasuk perbedaan dalam penetapan awal Ramadhan. Dalam hal ini NU melaksanakan puasa Ramadhan, dimulai pada hari Selasa, 12 Maret 2024. Suasana (Ramadhan) bulan yang sangat baik, tidak perlu risau dengan perbedaan awal Ramadhan.
“Boleh memulai puasa pada hari Senin (11 Maret) seperti kalangan Muhammadiyah. Juga boleh memulai puasa pada Selasa (12 Maret) seperti dilakukan umat Nahdliyin (NU). Sama-sama baiknya. Masing-masing memiliki pedoman kuat,” jelas Masduki.
Bahkan dicontohkan, di kalangan NU juga terdapat perbedaan awal puasa. Misalnya pengikut tarekat mu’tabaroh NU (jumlahnya mencapai jutaan orang) malah telah memulai puasa pada hari Ahad (10 Maret), dan pasti akan ber-hari Idul Fitri lebih awal.
Konsep ukhuwah Islamiyah, wajib menjadi pegangan dalam perbedaan. Sangat ironis (dan menyimpangi agama), manakala visi ibadah dijadikan “pedang terhunus” untuk mem-provokasi sesama umat. Bahkan seluruh perawi hadits shahih, meriwayatkan sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa “perbedaan diantara umatku adalah rahmat.”
Ramadan, inilah waktu yang ditunggu-tunggu. Diawal bulan berisi berkah, ditengahnya berisi pembersihan kesalahan, dan diakhirnya bermakna pembebasan.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait