SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Penasihat hukum Winarti, terdakwa perkara penggelapan uang senilai Rp1,7 miliar di Bank Tabungan Pensiunan Negara (BTPN) cabang Kedungdoro Surabaya, Michael SH MH CLA CTL CCL menyebut, pembuktian akan adanya dugaan penggelapan tersebut lemah.
Hal itu disampaikan Michael usai mendampingi terdakwa dalam sidang perkara tersebut di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Rabu (13/3/2023). Michael mengatakan, jika memang ada kerugian dari BTPN, maka hal itu harus bisa dibuktikan.
“Jaksa harus bisa buktikan selisih uang yang Rp1,7 miliar itu kemana. Investigator BTPN juga harus bisa membuktikan dimana selisih uang tersebut. Jadi, dari sisi pembuktian jaksa masih sangat lemah. Banyak kejanggalan dari keterangan saksi,” katanya.
Winarti, kembali menjalani sidang di PN Surabaya dengan agenda mendengarkan keterangan saksi. Setidaknya ada lima saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Semua merupakan pegawai BTPN. Diketahui berdasarkan surat dakwaan JPU, Fukon Adhi Nugroho menyebutkan, kasus ini berawal dari Terdakwa Winarti selaku pegawai BTPN KCP Kedungdoro yang menjabat sebagai Branch Service Manager (BSM) WMB BTPN KCP Sinaya Kedungdoro.
Bahwa dalam melaksanakan tugasnya, terdakwa telah melakukan sesuatu tindakan yang seolah-olah memastikan mengikuti langkah-langkah prosedur yang berlaku dalam menjalankan usaha bank. Namun data dan/atau dokumen yang digunakan tidak valid atau fiktif atau tidak menggambarkan keadaan sebenarnya.
Saat serah terima tugas dan tanggungjawab sebagai BSM dari terdakwa kepada saksi Nesya Larasati Prida Putri, saksi Nesya Larasati Prida Putri menemukan adanya ketidaksesuaian antara fisik uang yang ada pada brankas BTPN KCP Sinaya Kedungdoro dengan sistem pada bank BTPN (FES), dimana dalam sistem FES tertanggal 12 April 2023 jumlah kas besar BTPN KCP Sinaya Kedungdoro adalah Rp2,01 miliar, tetapi jumlah fisik uang dalam brangkas tidak sejumlah itu.
Disisi lain, terdakwa mencetak dan menandatangani Laporan Harian Kas Besar BTPN KCP Sinaya Kedungdoro seolah-olah jumlah total kas sebenarnya dalam sistem FES adalah Rp1,9 miliar. Rinciannya, sejumlah Rp160,72 juta dipegang oleh kasir. Sisanya berada didalam brangkas, yang berarti bahwa uang yang berada didalam brankas ruang khasanah seharusnya berjumlah Rp1,83 miliar.
Dari kegiatan surprise fisik dan cash opname diperoleh hasil bahwa ternyata uang yang berada dalam brankas hanya tersisa Rp58,9 juta dan uang sejumlah Rp160,72 juta dipegang oleh kasir. Sehingga Laporan Harian Kas Besar yang dicetak dan ditandatangani oleh terdakwa tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan mengakibatkan kerugian BTPN sejumlah Rp1,7 miliar.
Salah satu saksi dari JPU, Bangkit, yang saat peristiwa menjabat sebagai pimpinan terdakwa mengakui bahwa ada selisih antara laporan yang ada di sistem dengan yang ada di brankas (uang fisik). Hal itu diketahui setelah pihaknya melakukan investigasi. “Sebelumnya saya mendapat laporan dari bawahan saya bahwa ada dugaan selisih uang antara sistem dengan fisik senilai Rp1,7 miliar,” katanya.
Saksi lainnya yang juga dari BTPN, Neisa Larasati yang saat peristiwa menggantikan sementara posisi Winarti mengatakan, terdakwa menyampaikan pada dirinya bahwa terjadi error system. Sehingga ada selisih. Dan saat itu percaya dengan apa yang disampaikan terdakwa. “Tapi ketika diperiksa oleh teknisi, tidak ada error system,” ujarnya.
Diketahui, dalam perkara ini, terdakawa dijerat Pasal 49 Ayat (1) huruf a UU Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Jo Pasal 263 Ayat (1) KUHP. Jo Pasal 374 KUHP.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait