SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Baru-baru ini muncul kasus KIP-K (Kartu Indonesia Pintar Kuliah) yang menurut masyarakat melenceng dari sasaran. Menyoroti hal itu, Pakar Kebijakan Publik Universitas Airlangga (Unair) Gitadi Tegas Supramudyo Drs MSi sebut bukan masalah.
“Kalau dari ratusan ribu penerima KIP-K, namun hanya satu atau dua kasus itu bukan masalah. Dalam perspektif kebijakan, harus berdasar data dan fakta. Berapa ribu yang bermasalah, barulah bisa dilakukan analisis evaluasi,” papar dosen administrasi publik itu.
Kunci keefektifan kebijakan dan atau program pemerintah, kata Gitadi, jangan terlalu terpusat di satu lembaga saja. Perlu melibatkan lembaga/institusi independen yang lebih kredibel untuk menentukan sasaran program.
“Jadi jangan pusat, juga jangan dari kampus saja. Karena, kampus juga punya keinginan untuk mahasiswanya mendapatkan bantuan,” tambahnya
Gitadi beranggapan bahwa Puslapdik (lembaga yang mengatur KIP K) kurang belajar dari pengalaman berbagai universitas. Menurutnya, mekanisme yang dimiliki oleh universitas sudah bagus.
“Banyak perguruan tinggi itu sudah punya mekanisme menentukan SPP yang baik, sampai home visit, dikunjungi rumahnya, ditanya tetangganya, konsumsi listriknya. Maka dari itu, perlu ada lembaga khusus untuk memonitori jalannya kebijakan atau program,” tegasnya.
Pakar kebijakan publik itu turut memberikan kritik terhadap beasiswa KIP Kuliah. Menurutnya, program tersebut bagus di permukaan saja. Untuk itu, perlu struktur atau institusi khusus dalam pelaksanaan program atau kebijakan.
“UNAIR itu punya pengalaman bagus kok, meskipun satu-dua ada yang meleset. Tapi, Unair datang ke rumah mahasiswa yang membutuhkan bantuan, diliat rumahnya, dan lain sebagainya. Itulah muddling through, proses bersusah payah untuk menemukan solusi,” ungkapnya.
Secara psikologis, kata Gitadi, orang cenderung tidak mau jujur mengakui jika bantuan yang diberikan nantinya dicabut. Oleh karena itu, perlu ada perubahan sistem dalam kebijakan.
Gitadi juga berpendapat bahwa peraturan tidak boleh bersifat karet. Kata ‘bisa dicabut’ dalam pernyataan pihak Puslapdik dianggap tidak tegas.
“Aturan itu jangan bersifat karet. Kalau sudah naik status ekonominya, ya langsung diputus bantuannya. Tapi, harus fair juga mekanismenya. Karena, mana ada orang yang mau bantuannya dicabut. Harus didatangi dan diperiksa betul,” jelasnya.
Gitadi menegaskan untuk tidak mudah disetir oleh media. Karena, belum tentu narasi yang diberikan sesuai dengan kenyataan asli, bisa saja berupa asumsi.
“Bisa saja yang bersangkutan mengejar followers dengan berpenampilan yang terkesan mahal. Jangan-jangan mobil pinjaman, tasnya KW, atau perhiasannya juga imitasi,” jelasnya.
Tak lupa, Gitadi beri pesan dan harapan pada pemerintah untuk melakukan survei dan riset. Serta memberikan alternatif rekomendasi pada penyelenggaraan kebijakan. Dan pengutamaan (prioritization) kebijakan.
“Dengan itu, proses kebijakan bisa dianggap cerdas dan baik,” tutupnya.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait