Tiga Pemicu Kasus Rudapaksa Anak Bawah Umur dari Sisi Psikologis, Nomor 2 Gawai

Ali Masduki
Ilustrasi korban rudapaksa. Foto/iNews.ID

2. Gawai dan Informasi Tanpa Batas Jadi Jalan Remaja Penuhi Jawaban 

Dengan sikap orang tua yang demikian, Tari pun menambahkan bahwa dari sanalah anak-anak remaja pun terdorong berusaha untuk mencari tahu apa yang ingin mereka tahu melalui teknologi dan membangun percakapan dengan orang asing.

“Dengan situasi zaman di mana teknologi jadi nafasnya semua orang, tentunya anak remaja jadi beralih mencari panduan lewat gawai yang ada di tangannya. Namanya ingin tau, tentu dari sekedar cari informasi tentang seksualitas, eksplorasinya bisa ke mana-mana. Namanya butuh percakapan dan tidak didapat di rumah, tentunya dia cari percakapan lain lewat gawai dengan orang asing atau siapapun,” tegasnya.

Kondisi yang terjadi di kasus rudapaksa anak-anak di bawah umur inilah menjadi bukti paparan informasi seksualitas dari sumber yang tidak tepat dan tidak adanya kehadiran keluarga yang seharusnya menjadi ruang percakapan pertama di rumah.

3. Empati yang Mati Dorong Lakukan Kekerasan 
 
Selain dua faktor pemicu di atas, Tari juga menambahkan bahwa sejatinya kondisi ekonomi juga menjadi hal yang erat kaitannya dengan kondisi psikologis dari suatu sebuah keluarga. Artinya, kerasnya hidup berdampak pada kemampuan regulasi dan rasa empati anak.

“Situasi di atas (yang saya gambarkan) bisa bertambah lagi faktornya untuk keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah. Bagi sebagian dari keluarga dengan sosial ekonomi rendah, kerasnya hidup dihadapi dengan mengeraskan diri serta mematikan empati, sehingga banyak anak muda dalam tingkat sosial ekonomi sulit punya kemarahan dan melampiaskan ke orang lain juga dengan kekerasan.” tambahnya.

Tari menjelaskan bahwa pada akhirnya tidak mudah untuk dapat memetakan pemicu mana yang bisa diperbaiki. Namun semua pihak harus bergerak melakukan pencegahan dengan memperbaiki hubungan dan kelekatan dengan anak-anak yang beranjak remaja. 

“Jadi pada akhirnya, tidak semudah itu memang menjawab yang mana duluan yang harus dibenerkan. Kalau masih punya privilege untuk melakukan pencegahan, as cliche as we always hear, maka mari perbaiki hubungan dengan remaja. Ngobrol lebih sering (ngobrol ya, bukan ngomong, kalo ngobrol itu ada faktor mendengarkan) dan melakukan observasi lebih banyak untuk liat perubahan perilaku atau emosi atau indikator lainnya,” imbuhnya
 

Editor : Ali Masduki

Sebelumnya

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network