Khofifah mengatakan, kemampuan mengatasi masalah yang kompleks didapatkan santri setiap hari melalui berbagai bentuk kajian kitab kuning dan kajian sosial kemasyarakatan, serta keagamaan serta istiqomah ibadah yang dilakukan.
Yang mana, hal tersebut melatih mereka menghadapi masalah dengan tenang , mengidentifikasi solusi dengan detail dan berpegang teguh pada sisi referensi keagamaan.
"Di pesantren itu ada majelis di mana para kyai dan santri bermusyawarah serta bermunajat. Di sini juga setiap hari secara istiqomah mereka melakukan qiyamul lail, sholat tahajud juga istikharah dan dzikir di sebagian malam , pagi dan siang. Maka, kalau diurai betul, mereka bisa memiliki kemampuan skill complex problem solving ini dengan terus mengasahnya tiap hari," ujarnya.
Untuk itu, Khofifah mengajak para santri untuk mengamalkan apa yang mereka peroleh di pesantren untuk membina dan menjaga masyarakat. Menjaga agama. Menjaga negara.
Sebab, di tengah krisis pandemi dan tantangan ekonomi, apa yang mereka miliki akan sangat bermanfaat bagi mereka yang membutuhkan kepastian dan ketenangan hidup.
"Memang betul bahwa kita butuh transformasi digital. Tapi bagaimana kita harus menyelaraskan dengan dakwah bil lisan, dakwah bil maal, dakwah bil haal, dan dakwah bil IT. Ini yang kemudian harus kita lakukan berseiring untuk masyarakat , agama , bangsa dan negara," jelasnya.
Khofifah berharap agar pendekatan complex problem solving di pondok pesantren bisa diintegrasikan ke permasalahan hidup masyarakat lainnya.
Di mana, orang-orang dapat menyelesaikan masalah dengan metode serupa. Lebih luas lagi dalam mencari solusi berbagai kompleksitas masalah bangsa dan negara.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait