SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Kasus perceraian di Kota Surabaya terus menjadi sorotan, terutama bagi pihak Pengadilan Agama (PA). Hingga November 2024, Pengadilan Agama Kota Surabaya mencatat total 5.000 kasus perceraian. Angka ini menunjukkan penurunan signifikan dibandingkan tahun 2023 yang mencatatkan 6.100 kasus perceraian.
Penurunan ini memberikan sedikit optimisme, terutama dengan prediksi bahwa hingga akhir tahun 2024, angka perceraian tidak akan mencapai 1.000 kasus tambahan.
"Ada kecenderungan penurunan dibandingkan tahun lalu," ujar Akramuddin, Humas Pengadilan Agama Kota Surabaya, dalam wawancaranya.
Akram, sapaan akrab Akramuddin, menjelaskan bahwa selama tahun 2024, jumlah kasus yang ditangani Pengadilan Agama Surabaya mencapai sekitar 8.800 kasus.
Dari jumlah tersebut, 60% di antaranya terkait perceraian, sementara sisanya menyangkut kasus seperti penetapan hak waris dan persoalan lainnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa 90% dari kasus perceraian ini disebabkan oleh masalah keuangan, sementara 10% sisanya dipicu oleh Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
"Kondisi keuangan yang tidak stabil menjadi pemicu terbesar dalam konflik rumah tangga di Surabaya," jelas Akram.
Data yang dihimpun juga menunjukkan bahwa pasangan di rentang usia produktif, yaitu 30 hingga 40 tahun, menjadi kelompok yang paling banyak mengalami perceraian. Hal ini memprihatinkan karena usia tersebut seharusnya menjadi masa produktif dalam membangun keluarga dan karier.
Namun, Akram menekankan pentingnya upaya mediasi untuk mencegah perceraian. Pengadilan Agama Surabaya menyediakan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) bagi mereka yang ingin berkonsultasi secara gratis.
"Kami berharap, melalui mediasi ini, pasangan yang sudah datang ke pengadilan tidak berakhir dengan perceraian," tutur Akram.
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Surabaya baru mencapai 4%. "Kami terus berupaya meningkatkan keberhasilan mediasi. Kami ingin, meski sudah ada di tahap pengadilan, masih ada peluang bagi pasangan untuk mempertahankan rumah tangga mereka," harap Akram.
Dari segi jenis perceraian, kasus cerai gugat (yang diajukan oleh istri) mendominasi dengan persentase 60%, sementara cerai talak (yang diajukan oleh suami) mencapai 40% dari total kasus.
Menutup pembicaraan, Akramuddin berharap bahwa kondisi ekonomi di tahun 2025 akan membaik sehingga mampu menekan angka perceraian di Surabaya. "Kami optimis, jika kondisi finansial keluarga membaik, angka perceraian juga akan menurun," pungkasnya.
Dengan adanya upaya mediasi dan berbagai program bantuan hukum, diharapkan Surabaya dapat mengurangi angka perceraian serta memperkuat ketahanan keluarga di tahun mendatang.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait