SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Dugaan ketidakadilan dalam penanganan kasus hukum kembali mencuat di Surabaya, kali ini melibatkan seorang pengusaha restoran bernama Tjiu Hong Meng, yang akrab disapa Ameng. Alih-alih mendapatkan perlindungan sebagai korban, Ameng justru mendapati dirinya berada di balik jeruji besi.
Ia ditahan setelah dilaporkan oleh keponakannya yang berinisial L, meski dirinya mengklaim menjadi korban penganiayaan dan perusakan usaha. Ameng menyampaikan rasa kecewanya dengan suara penuh keputusasaan.
"Saya adalah korban, tapi malah ditahan. Saya pasrah dan mengikuti semua prosedur hukum," ungkapnya, menunjukkan betapa terlukanya ia dengan proses hukum yang dijalaninya.
Ironisnya, hanya dengan satu laporan dari keponakannya, status Ameng langsung dinaikkan menjadi tersangka dan ia pun ditahan. Sementara itu, tiga laporan berbeda yang diajukan oleh Ameng terkait kasus penganiayaan yang menyebabkan tulang rusuknya patah, perusakan tempat usaha, dan percobaan pembunuhan, hingga kini belum mendapatkan respons dari pihak kepolisian.
Firman Rachmanudin, kuasa hukum Ameng, menyatakan kecurigaannya terhadap praktik mafia hukum yang diduga turut bermain dalam kasus ini. Menurut Firman, penetapan Ameng sebagai tersangka tidak didukung dengan bukti yang memadai.
"Secara hukum, untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka dibutuhkan dua alat bukti yang cukup. Namun, dari hasil rekonstruksi, hanya ada satu saksi yang hadir dari pihak pelapor, dan bukti visum yang diajukan penyidik sangat minim hanya berupa luka gesekan ringan," jelas Firman.
Firman juga menyoroti adanya potensi intervensi dari pihak tertentu, yang dikenal dengan istilah "Markus" (makelar kasus). "Kami khawatir ini adalah contoh nyata bagaimana kekuatan dan pengaruh digunakan untuk memutarbalikkan fakta, seolah-olah yang benar menjadi salah," tegasnya.
Kasus ini semakin kontroversial setelah pihak kepolisian menerapkan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan berat terhadap Ameng, meskipun awalnya ia hanya diduga melanggar Pasal 352 KUHP yang mengatur tentang penganiayaan ringan.
"Penerapan Pasal 351 ini sangat melukai rasa keadilan. Bayangkan, hanya dengan hasil visum yang menunjukkan goresan luka ringan, Ameng bisa ditahan dengan ancaman hukuman yang lebih berat," tambah Firman.
Firman mendesak agar Inspektorat Pengawasan Daerah (Irwasda) melakukan pemeriksaan terhadap penyidik dan atasannya untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan wewenang. “Kami meminta keadilan ditegakkan tanpa intervensi,” ujarnya dengan nada serius.
Menanggapi situasi ini, tim kuasa hukum Ameng tengah mempersiapkan langkah hukum lanjutan. Mereka bertekad untuk membongkar kebenaran dan membawa kasus ini ke meja hijau, demi membela hak-hak klien mereka yang diduga menjadi korban kriminalisasi.
Kasus ini pun mulai mendapat perhatian luas dari publik, yang mempertanyakan integritas penegakan hukum di Indonesia. Akankah Ameng mendapatkan keadilan yang layak, atau justru menjadi korban praktik hukum yang penuh dengan nuansa permainan kekuasaan? Hanya waktu yang akan menjawab.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait