DALAM KITAB FIHI MA DIRI, sufi besar Maulana Jalaluddin Rumi menggambarkan betapa tinggi nilai manusia di mata Allah. Kemuliaan ini bahkan melampaui seluruh alam semesta—bumi, langit, gunung, dan segala isinya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam." (QS. Al-Isra: 70)
Namun, banyak manusia tidak menyadari nilai agungnya. Mereka menjual dirinya dengan murah kepada dunia, menukar kemuliaan jiwa dengan kesenangan fana. Padahal, harga manusia telah Allah tetapkan sangat tinggi:
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka." (QS. At-Taubah: 111)
Rumi mengingatkan, manusia seharusnya tidak menurunkan nilainya dengan mengejar hal-hal duniawi semata. Ia menulis sebuah syair penuh makna:
"Jangan jual dirimu dengan murah, karena engkau sesungguhnya sangat mahal di mata Allah."
Siapakah mereka yang menjual dirinya dengan harga murah? Rumi menjelaskan bahwa mereka adalah orang-orang yang hanya sibuk memberi makan jasadnya, tetapi membiarkan jiwanya kelaparan.
Dalam pandangan Rumi, tubuh manusia hanyalah kuda tunggangan, sementara jiwa adalah sang penunggang. Dunia ini ibarat kandang kuda. Jika manusia hanya sibuk memberi makan jasadnya, maka ia tidak lebih dari seorang pemilik kuda yang hanya mengurus kendaraannya, tanpa memperhatikan tujuan perjalanannya.
Rumi memberi peringatan dengan kata-kata yang menyentuh:
"Di dunia yang rendah ini, kau telah melupakan jenis makanan lain karena sibuk dengan makanan materi. Siang malam kamu beri makan tubuhmu, sementara jiwamu sekarat kelaparan."
Puasa: Jalan Menuju Kemuliaan Jiwa
Puasa adalah cara Allah mengingatkan manusia agar tidak terus-menerus menjadi tawanan tubuh. Dengan menahan makan, minum, dan hawa nafsu, manusia diajarkan untuk kembali memperhatikan kebutuhan jiwanya.
Tidak ada kelaparan yang tidak menyakitkan, begitu pula kehausan. Namun, justru dalam penderitaan itulah kemuliaan jiwa tumbuh. Seperti bayi yang disapih dari ibunya, awalnya terasa menyakitkan, tetapi di situlah awal dari kemandirian dan kedewasaan.
Proses ini adalah hukum alam sunnatullah. Tidak ada kejayaan tanpa perjuangan, tidak ada kebangkitan tanpa pengorbanan. Baik itu kejayaan dunia maupun akhirat, semuanya harus diperoleh dengan usaha yang menyakitkan.
Melahirkan Isa dalam Diri: Simbol Kebangkitan Jiwa
Rumi menggunakan kisah Maryam saat melahirkan Nabi Isa sebagai metafora untuk menggambarkan lahirnya keagungan jiwa. Dalam pandangannya, raga manusia seperti Maryam, dan setiap manusia memiliki Isa dalam dirinya sebuah potensi spiritual yang luar biasa.
Saat berpuasa, manusia menunda makan dan minum, menahan segala godaan jasmani. Tentu saja, tubuh akan melawan karena tidak terbiasa. Namun, jika kita mampu menaklukkan jasad dan mengendalikannya, maka seperti Maryam yang melahirkan Isa, kita akan melahirkan kebangkitan jiwa.
Sebaliknya, jika kita terus-menerus memanjakan tubuh, memenuhi segala kerakusannya, maka jiwa akan mati. Tak ada kelahiran Isa tanpa kesakitan Maryam.
"Jika rasa sakit tidak dirasakan tubuh, maka Isa akan kembali ke asalnya melalui jalan rahasia yang sama yang dilaluinya."
Jika manusia gagal mengendalikan tubuhnya, maka kehidupannya akan kehilangan makna. Keagungan yang telah Allah tetapkan baginya berubah menjadi kehinaan.
Dalam Fihi Ma Fihi, Rumi mengutip syair dari Afdhaluddin al-Haqani yang menggambarkan perbedaan manusia yang fokus pada jiwanya dengan yang hanya mementingkan jasadnya:
"Jiwa ruhaniahmu kelaparan, sementara raga luarmu kekenyangan. Setan makan dengan rakus sampai muntah, sementara seorang raja bahkan tak memiliki sepotong roti."
Puasa bukan hanya menahan lapar, tetapi juga perjalanan menemukan kembali keagungan jiwa. Ia adalah jalan untuk membangkitkan Isa dalam diri, mengembalikan manusia pada kemuliaannya yang sejati di mata Allah.
Jangan biarkan tubuh menguasai jiwa. Jadikanlah puasa sebagai langkah awal untuk menemukan kembali makna hidup yang sejati.
Penulis :
Prof. Dr. Ahmad Zainul Hamdi, M.Ag.
Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Agama
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait