SURABAYA - Bulan Ramadhan selalu menjadi momen istimewa bagi umat Islam. Selain sebagai waktu untuk memperbaiki diri dan meningkatkan keimanan, Ramadhan juga menjadi ajang untuk mempererat hubungan sosial melalui berbagai kegiatan positif, seperti kajian keagamaan, buka bersama, dan aksi sosial.
Namun, di balik semangat Ramadhan yang tinggi, muncul fenomena yang perlu dicermati, seperti tindakan sejumlah kelompok yang memaksa warung atau rumah makan untuk tutup di siang hari selama bulan puasa.
Ulul Albab, Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jawa Timur, menegaskan bahwa semangat Ramadhan seharusnya tidak mengorbankan keharmonisan sosial.
"Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, tetapi kita juga harus menjaga toleransi dan menghormati hak orang lain, termasuk mereka yang tidak berpuasa," ujarnya.
Semangat Ramadhan dan Fenomena Sosial
Ramadhan kerap diwarnai dengan peningkatan aktivitas keagamaan, seperti shalat tarawih berjamaah, tadarus Al-Qur'an, dan kegiatan sosial seperti pembagian takjil.
Namun, di sisi lain, ada pula fenomena yang kurang harmonis, seperti aksi memaksa warung atau rumah makan untuk tutup di siang hari.
Menurut Ulul Albab, tindakan semacam ini justru bertentangan dengan ajaran Islam yang mengedepankan toleransi dan saling menghormati.
"Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk hidup berdampingan dengan siapa pun, tanpa memaksakan kehendak. Tindakan memaksa warung tutup bisa mencederai keharmonisan sosial yang sudah terbangun," jelasnya.
Teladan Toleransi dari Rasulullah SAW
Rasulullah SAW memberikan contoh nyata tentang bagaimana menghadapi perbedaan dalam kehidupan sosial. Meskipun umat Islam mayoritas di Madinah, Rasulullah tidak pernah memaksakan non-Muslim untuk mengikuti aturan Islam.
"Sebaliknya, beliau mengajarkan umatnya untuk saling menghormati dan menjaga kedamaian," tegas Ulul Albab.
Abu Hurairah RA meriwayatkan sebuah hadis di mana Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang tidak berpuasa karena alasan yang sah, seperti orang sakit atau dalam perjalanan, maka mereka diperbolehkan makan dan minum, tetapi hendaknya mereka menghormati orang-orang yang sedang berpuasa dan tidak mengganggu mereka."
"Hadis ini seharusnya dipahami secara mendalam. Membuka warung di siang hari Ramadhan tidak serta-merta berarti tidak menghormati orang yang berpuasa, kecuali jika dilakukan dengan sengaja untuk mengganggu," tutur Ulul Albab.
Menjaga Keharmonisan di Tengah Keberagaman
Indonesia, sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim, memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga toleransi dan keharmonisan sosial. Ramadhan seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, bukan justru memicu konflik.
"Kita harus belajar dari Rasulullah SAW yang selalu mengedepankan sikap saling menghargai. Ramadhan adalah bulan untuk meningkatkan kualitas ibadah, tetapi juga untuk membangun hubungan yang baik dengan sesama, terlepas dari perbedaan keyakinan," tegas Ulul Albab.
Momentum Refleksi dan Perbaikan Diri
Menurut Ketua ICMI Jatim, fenomena rumah makan yang buka di siang hari selama Ramadhan seharusnya menjadi bahan refleksi bagi umat Islam. "Apakah kita sudah cukup sabar dalam menjalani ibadah puasa? Apakah kita sudah menjaga adab dan kesopanan dalam menghadapi perbedaan?" ucapnya.
"Ramadhan adalah waktu yang tepat untuk memperbaiki diri, bukan hanya dalam hal ibadah, tetapi juga dalam hal sikap dan perilaku sosial. Mari jadikan Ramadhan sebagai momentum untuk membangun toleransi dan keharmonisan di tengah keberagaman," tutup Ulul Albab.
Dengan semangat Ramadhan yang penuh berkah, diharapkan umat Islam dapat menjadi teladan dalam menjaga toleransi dan keharmonisan sosial, meneladani sikap Rasulullah SAW yang selalu mengedepankan kasih sayang dan penghormatan terhadap sesama.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait