FSK 2025 digelar pada 10–12 Mei dengan tema “City and Us: Cerita Kota, Cerita Kita.” Selain pemutaran film dan diskusi buku, festival ini menampilkan deretan film pendek pilihan, lokakarya kreatif, serta kolaborasi budaya dalam program “Kita dan Kota: Surabaya Meets Australia.”
Festival ini bukan hanya sekadar tontonan, melainkan ruang edukasi, dialog, dan refleksi sosial. Melalui film Road to Resilience dan diskusi buku Dr. Huda, FSK menegaskan peran penting sinema sebagai media advokasi dan empati sosial.
Dr. Noor Huda Ismail, pendiri Institute for International Peace Building, menekankan pentingnya pendekatan 5R: Repatriasi, Relokasi, Rehabilitasi, Reintegrasi, dan Resiliensi dalam penanganan WNI eks ISIS yang masih tertahan di kamp pengungsian.
“Ini bukan soal benar atau salah, tapi soal memberi kesempatan kedua,” ujarnya. Ia juga menyerukan agar publik dan pemerintah lebih terbuka terhadap narasi kemanusiaan di balik tragedi Suriah.
FSK 2025 membuktikan bahwa festival film bukan hanya ajang hiburan, melainkan ruang untuk menumbuhkan solidaritas dan kesadaran sosial. Suara-suara dari tempat paling sunyi seperti kamp pengungsian Suriah akhirnya menemukan ruang untuk didengar—melalui layar, buku, dan dialog yang bermakna.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
