SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Menjelang peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia, sebuah fenomena unik sekaligus mengkhawatirkan muncul di ruang publik. Di beberapa lokasi, bendera bajak laut Jolly Roger dari serial anime One Piece berkibar sejajar, bahkan terkadang lebih mencolok, dibanding Sang Saka Merah Putih. Fenomena ini bukan sekadar tren budaya pop, tetapi tanda pergeseran cara sebagian masyarakat, khususnya generasi muda, memaknai simbol perjuangan bangsa.
Di jalanan, media sosial, hingga acara bertema kebangsaan, lambang fiksi ini hadir berdampingan dengan bendera negara. Kreativitas dan kebebasan berekspresi tentu perlu dihargai, namun ada garis batas yang harus dijaga: Merah Putih bukan sekadar ornamen visual. Ia adalah simbol harga diri dan sejarah yang tak bisa diperlakukan sembarangan.
Generasi muda kini tumbuh di era di mana ekspresi diri kerap diukur dari like, share, dan retweet. Budaya pop seperti One Piece memang mengandung pesan perlawanan terhadap ketidakadilan, namun memposisikan bendera fiksi setara dengan lambang negara berpotensi mengaburkan nilai-nilai kebangsaan.
Kritik sosial dan sindiran terhadap situasi bangsa memang sah dilakukan. Tetapi ketika simbol negara digunakan hanya demi sensasi digital, makna yang terkandung di dalamnya terancam terkikis. Nilai perjuangan bisa tergantikan oleh algoritma yang lebih mementingkan konten menghibur dibanding yang mendidik.
Fenomena ini tidak lepas dari peran algoritma media sosial. Sistem rekomendasi berbasis content-based filtering membuat pengguna terus terpapar pada jenis konten yang mereka sukai. Konten ringan, lucu, dan mudah dibagikan menyebar jauh lebih cepat dibanding materi edukasi kebangsaan.
Tanpa literasi digital yang memadai, masyarakat hanya menerima informasi yang menyenangkan hati, bukan yang seharusnya mereka pahami. Inilah yang memunculkan nasionalisme digital disorientatif—identitas bangsa terombang-ambing oleh arus tren tanpa jangkar nilai.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
