Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) yang terjadi pada 1974 menjadi awal mula kedekatan Jenderal (Purn) Wismoyo Arismunandar dengan Presiden Soeharto. Momen inilah yang menjadikan Komandan Jenderal (Danjen) Kopassandha (Komando Pasukan Sandi Yudha/kini Kopassus ) masuk sebaai keluarga Cendana.
Kisah ini terjadi tahun 1974 yang terkenal dengan kejadian Malari. Disebut Malari karena ada peristiwa demonstrasi mahasiswa yang berujung kerusuhan sosial saat kunjungan Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei di Jakarta, 14-17 Januari 1974.
Sejumlah tuntutan yang disuarakan mahasiswa adalah antipenanaman modal asing yang menguntungkan kelompok tertentu, pemberantasan korupsi, tingginya harga kebutuhan pokok, dan pembubaran Asisten Penasehat Pribadi Presiden Soeharto. Diyakini ada provokator yang menunggangi aksi mahasiswa ini sehingga terjadi perusakan, pembakaran, dan penghancuran merek mobil Jepang.
Saat itu, Wismoyo Arismundar yang menjabat Asisten Pengamanan Kopassandha ditugaskan menyampaikan pesan oleh komandannya kepada Presiden Soeharto. Wismoyo yang masih berpangkat Mayor dengan rasa deg-degan akhirnya menghadap Soeharto di kediamannya. "Ono opo (ada apa)," tanya Soeharto yang hanya mengenakan sarung dan kaus oblong seperti dikutip dari buku Pak Harto The Untold Stories (2012), Kamis (31/3/2022).
Wismoyo pun menyampaikan maksud kedatangannya untuk menyampaikan pesan bahwa Kopassandha akan tetap setia kepada Presiden Soeharto. "Setia iku opo (setia itu apa)," tanya Soeharto lagi.
Mendengar pertanyaan itu, Wismoyo pun bingung bukan kepalang. Ia tak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Di tengah ketegangan itu, Soeharto lalu mencairkan suasana dengan menjelaskan bahwa setia itu berarti memegang teguh kebersamaan dalam mencapai cita-cita.
"Kalau kamu ingin menjadi pribadi yang maju, kamu harus pandai mengenal apa yang terjadi, pandai melihat, pandai mendengar, dan pandai menganalisis," kata Pak Harto, panggilan akrab Soeharto.
Dari pertemuan itu, hubungan keduanya semakin dekat, apalagi cinta Wismoyo kemudian berlabuh kepada Datit Siti Hardjanti, adik kandung Ibu Tien Soeharto. Ada cerita menarik ketika Wismoyo melamar sang pujaan hati Datit Siti Hardjanto. Meski sudah menjalani hubungan asmara, belum sekali pun Wismoyo dikenalkan dengan calon mertuanya.
Hingga saatnya tiba, ia malah harus melamar kepada Soeharto dan Ibu Tien. Wismoyo pun mempersiapkan diri untuk menghadapi momen penting dalam hidupnya. Ia grogi harus melamar kepada Presiden Soeharto dan Ibu Tien.
Saking groginya, Wismoyo terus menerus mengelap sepatu supaya berkilau. Akhirnya niat ditetapkan. Wismoyo berangkat sendirian ke kediaman Soeharto untuk melamar kekasihnya.
Sesampai di sana, Wismoyo melihat banyak sandal dan sepatu berjejer di dekat tangga menuju ruang pertemuan. Ia bingung, mau melepas atau tetap memakai sepatu bot yang telah dielap mengkilap.
"Tapi masak saya melamar tanpa memakai sepatu," batin Wismoyo sambil menaiki tangga menuju ruangan, di mana Pak Harto dan Ibu Tien sudah menunggu. Setelah masuk, ternyata hanya Wismoyo yang mengenakan sepatu.
Groginya pun semakin menjadi. Apalagi Ibu Tien melihatnya dari bawah sampai atas yang membuat mentalnya runtuh. Wismoyo pun menjadi salah tingkah. "Wong lanang kok ingah ingih (lelaki kok tersipu-sipu)," kata Ibu Tien disambut senyuman khas Pak Harto.
Sementara Wismoyo hanya menunduk tak mampu berkata apa-apa. "Aku mbiyen yo ingah ingih," kata Soeharto memecahkan ketegangan suasana sambil teringat saat meminang Ibu Tien.
Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) yang terjadi pada 1974 menjadi awal mula kedekatan Jenderal (Purn) Wismoyo Arismunandar dengan Presiden Soeharto.
Mendengar hal itu, suasana kembali cair. Mental Wismoyo pun kembali. Ia pun mengutarakan maksud kedatangannya untuk melamar Datit Siti Hardjanti dan diterima. Wismoyo dan Datit kemudian membina rumah tangga yang harmonis
Peristiwa itu sangat membekas di hati Wismoyo. Menurut Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) periode 1993-1995 ini, Soeharto memberikan contoh bahwa pemimpin harus berani menyelamatkan bawahannya untuk tujuan yang baik.
Hal lain yang dipelajari Wismoyo dari Soeharto adalah keberanian mengambil keputusan untuk bertindak cepat. Utamanya saat mengatasi pemberontakan Gerakan 30 September 1965 atau dikenal G30 S/PKI.
"Saya ini tentara," kata Pak Harto saat ditanya oleh Wismoyo soal pemberontakan PKI. "Tentara itu pedoman hidupnya Saptamarga. Kami patriot Indonesia, pendukung dan pembela ideologi negara yang bertanggung jawab dan tidak kenal menyerah.
Melihat pemberontak yang komunis sedangkan ideologi negara adalah Pancasila, ya saya harus melawan. Kalau kalah saya akan memberontak," kata Soeharto yang menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) saat pemberontakan PKI tersebut.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait