SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Puluhan warga Desa Balesari, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang, mendatangi Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Jawa Timur pada Rabu (24/9/2025). Mereka melaporkan dugaan praktik mafia tanah yang mengancam kepemilikan lahan tebu yang sudah mereka kuasai sejak puluhan tahun lalu.
Warga merasa hak mereka tiba-tiba dirampas setelah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Malang menerbitkan sertifikat baru atas tanah yang sudah bersertifikat hak milik (SHM) resmi sejak tahun 1990-an. Kondisi ini menimbulkan kecurigaan adanya sertifikat ganda.
“Tanah itu sudah dikuasai warga sejak lama, dengan SHM sah dan pajak rutin dibayar. Namun pada 2024, BPN malah mengeluarkan SHM baru atas nama orang lain,” tegas advokat senior Masbuhin dari firma hukum Masbuhin & Partners yang mendampingi warga.
Tim hukum Masbuhin & Partners telah melakukan pengecekan lapangan sejak 19 September 2025. Hasilnya, ditemukan indikasi kuat adanya penerbitan sertifikat ganda dengan dugaan manipulasi dokumen melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Beberapa kasus yang mencuat antara lain: Tarimin, pemilik SHM No. 603 seluas 4.630 m² sejak 1993, namun pada 31 Juli 2024 BPN menerbitkan SHM baru No. 01049 atas nama MSE dengan menggabungkan tanah tiga warga, ada lagi Sri Rahayu, yang membeli tanah secara resmi pada 2013, juga mendapati lahan miliknya diterbitkan SHM baru No. 02148 atas nama MDZ pada 2024.
“Hari ini warga resmi melapor pidana ke Polda Jatim. Kami berharap penyidik bekerja cepat dan transparan untuk mengungkap praktik mafia tanah ini,” tambah Masbuhin.
Kasus tersebut telah teregister dengan Nomor: LP/B/1197/VIII/2025/SPKT/POLDA JAWA TIMUR. Untuk sementara, baru sekitar 20 warga dengan luas lahan mencapai 15 hektare yang melapor. Namun, diperkirakan masih ada lebih dari 30 warga lain yang akan menyusul.
Masbuhin menyebut praktik ini diduga melibatkan banyak pihak, mulai dari pelaku utama, penyuruh, hingga pihak yang mendanai.
Salah satu warga, Ponidi, mengaku sangat terkejut ketika mengetahui tanahnya juga bermasalah. Ia baru sadar setelah menerima surat ancaman dari seseorang bernama Saiful Effendi yang mengklaim sebagai pemilik sah berdasarkan sertifikat baru.
“Saya membeli tanah dari pemegang hak garap hasil redistribusi tanah kelebihan maksimum. Semua proses saya tempuh resmi hingga keluar sertifikat sah. Jadi saat tahu ada sertifikat baru, kami benar-benar syok,” ungkap Ponidi.
Kasus ini menambah panjang daftar praktik mafia tanah di Indonesia. Para korban berharap laporan mereka segera ditindaklanjuti agar kepastian hukum bisa ditegakkan, serta hak masyarakat kecil tidak mudah dirampas oleh oknum yang bermain dalam penerbitan sertifikat ganda.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
