SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia masih menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), hingga Juli 2025 tercatat 14.039 kasus kekerasan. Survei nasional juga mengungkap fakta mencengangkan, 1 dari 5 perempuan dan 1 dari 2 anak pernah mengalami tindak kekerasan.
Melihat kondisi ini, Kantor Wilayah Kementerian Hukum (Kemenkum) Jawa Timur bersama Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) mengambil langkah konkret dengan menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Analisis dan Evaluasi Hukum terkait Tindak Pidana Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak dalam Memperkuat Pembangunan SDM, Kesetaraan Gender, serta Peran Perempuan (Asta Cita Ke-4).
Kegiatan yang digelar Selasa (21/10/2025) di Aula Raden Wijaya Kanwil Kemenkum Jatim itu berlangsung secara hybrid. Acara dibuka langsung oleh Kepala Kanwil Kemenkum Jatim, Haris Sukamto, dan dihadiri sejumlah pejabat serta pakar hukum nasional.
Turut hadir Marciana Dominika Jone, Penyuluh Hukum Ahli Utama BPHN; Titik Setiawati, Kadiv Peraturan Perundang-undangan dan Pembinaan Hukum; Raden Fadjar Widjanarko, Kadiv Pelayanan Hukum; serta Widya Oesman, Ketua Tim Kerja BPHN. Dari kalangan akademisi, hadir Amira Paripurna, Ph.D. dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan Damang Anubowo, S.E., S.H., M.H. dari Kejaksaan Negeri Surabaya.
Dalam sambutannya, Haris Sukamto menegaskan bahwa kegiatan ini menjadi bagian dari pelaksanaan Asta Cita Ke-4 Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang berfokus pada penguatan sumber daya manusia, kesetaraan gender, dan pemberdayaan perempuan menuju Indonesia Emas 2045.
“Angka-angka ini bukan sekadar statistik, tetapi potret nyata bahwa masih banyak perempuan dan anak yang belum sepenuhnya mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana dijamin dalam UUD 1945,” ujar Haris.
Ia menambahkan, analisis dan evaluasi hukum penting dilakukan untuk menilai efektivitas peraturan perundang-undangan sekaligus menemukan celah implementasi di lapangan agar perlindungan hukum bagi kelompok rentan bisa lebih menyeluruh dan berkeadilan.
Sementara itu, Marciana Dominika Jone dari BPHN mengungkap beberapa isu penting hasil analisis awal tim. Salah satunya adalah masih maraknya penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di luar pengadilan, yang melanggar Pasal 23 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan berpotensi mencederai rasa keadilan bagi korban.
Ia juga menyoroti pemenuhan hak korban, termasuk restitusi, yang dinilai belum optimal akibat prosedur yang rumit, ketidakjelasan sumber dana, dan kurangnya perhatian aparat terhadap penyitaan aset pelaku.
“Perlindungan anak melalui UPTD PPA pun belum maksimal karena keterbatasan SDM, psikolog, dan pendamping hukum di banyak daerah,” jelas Marciana.
Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa sejak 1 Januari hingga 16 Oktober 2025, terdapat 25.194 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia. Jawa Timur menempati posisi kedua tertinggi dengan 2.113 kasus, di bawah Jawa Barat.
Marciana menegaskan, kegiatan ini merupakan bagian dari review nasional terhadap peraturan perundang-undangan sesuai arahan Presiden untuk memastikan hukum hadir sebagai solusi bagi perlindungan perempuan dan anak.
“Lex Semper Dabit Remedium hukum harus selalu memberikan obat dan solusi,” tegasnya.
FGD tersebut menghasilkan sejumlah rekomendasi awal yang akan disusun lebih lanjut oleh Tim Kerja BPHN sebagai dasar kebijakan hukum nasional berperspektif gender dan berpihak pada korban.
Sinergi antara BPHN, Kanwil Kemenkumham Jatim, aparat penegak hukum, akademisi, dan lembaga masyarakat diharapkan mampu memperkuat sistem hukum yang lebih responsif, adil, dan berpihak pada korban kekerasan. Forum ini juga menjadi momentum penting untuk meningkatkan kesadaran hukum dan menanamkan perspektif gender dalam setiap aspek kebijakan nasional.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
