STEVIA MAYANG ANDRIANI
MAHASISWA MANAJEMAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
ADA ironi yang menggelisahkan dalam agenda besar pendidikan vokasi. Pemerintah menggelontorkan anggaran triliunan rupiah, memperbarui alat bengkel, dan menebar beasiswa dengan satu ambisi: mencetak tenaga kerja siap pakai. Namun, data di lapangan sering kali menampar ambisi tersebut. Angka pengangguran lulusan vokasi (SMK maupun Diploma) kerap bertengger di posisi tinggi.
Di mana letak kesalahannya? Apakah alatnya kurang canggih? Atau kurikulumnya kurang padat?
Jawabannya mungkin lebih sederhana, namun sering diabaikan: Kita terlalu sibuk mencetak "robot" yang presisi secara teknis, tetapi lupa membentuk manusia yang pandai berkoneksi. Pendidikan vokasi kita menjebak siswa dalam ilusi bahwa hard skill adalah segalanya, sementara kemampuan membangun jaringan (networking) dan kolaborasi dianggap sekadar pelengkap penderita.
Selama bertahun-tahun, narasi yang ditanamkan ke benak pelajar vokasi adalah: "Asah keterampilanmu sampai tajam, maka pekerjaan akan datang dengan sendirinya." Ini adalah kebohongan besar di era industri modern.
Di dunia nyata, keterampilan teknis hanyalah tiket masuk. Namun, yang menentukan siapa yang mendapatkan kursi terbaik sering kali adalah "modal sosial". Informasi tentang peluang strategis, lowongan yang tidak dipublikasikan di job portal, hingga rekomendasi profesional, tidak beredar di papan pengumuman sekolah. Informasi itu mengalir lewat jaringan.
Tanpa jaringan, seorang lulusan vokasi dengan IPK 4.0 ibarat memiliki mobil sport tetapi buta peta. Ia punya mesin hebat, tapi tidak tahu harus melaju ke mana. Sebaliknya, mereka yang luwes bergaul dan berkolaborasi memiliki "peta jalan" yang jelas lewat mentor dan rekan sejawat.
Kita perlu meluruskan stigma tentang jaringan. Di Indonesia, koneksi sering disalahartikan negatif sebagai "orang dalam" atau nepotisme. Padahal, dalam konteks profesional, jaringan adalah tentang kredibilitas yang terverifikasi.
Industri enggan membeli kucing dalam karung. Rekomendasi dari jejaring yang tepercaya jauh lebih bernilai daripada selembar ijazah yang bisa dicetak siapa saja. Jika pendidikan vokasi gagal mengajarkan cara membangun trust dan professional relationship ini, sekolah pada dasarnya sedang melumpuhkan masa depan siswanya sendiri.
Selain itu, tantangan industri hari ini tidak bisa diselesaikan sendirian. Masalah di dunia kerja bersifat lintas disiplin. Seorang ahli mesin harus paham bahasa bisnis, dan seorang manajer harus mengerti kendala teknis. Kolaborasi adalah mata uang baru. Siswa yang terbiasa bekerja dalam "silo" (terkotak-kotak di jurusannya sendiri) akan gagap saat harus memecahkan masalah kompleks yang membutuhkan sinergi tim.
Lantas, apa yang harus dilakukan? Sekolah dan kampus vokasi harus berhenti beroperasi layaknya pabrik tertutup.
Pertama, rombak metode pembelajaran pasif. Ganti tugas makalah individu dengan proyek kolaboratif lintas prodi yang memaksa siswa berdebat, bernegosiasi, dan mencari solusi bersama.
Kedua, institusionalisasi jejaring. Jangan biarkan siswa lulus tanpa akun LinkedIn yang profesional atau portofolio digital yang bisa diakses publik. Alumni jangan hanya diundang untuk reuni dan sumbangan, tetapi wajib dilibatkan sebagai mentor aktif yang membuka pintu industri bagi adik kelasnya.
Pendidikan vokasi memiliki potensi raksasa untuk menjadi tulang punggung ekonomi bangsa. Namun, jika kurikulum kita hanya fokus pada seberapa cepat tangan siswa merakit mesin, dan mengabaikan seberapa luwes mereka menjabat tangan orang lain, kita sedang dalam masalah besar.
Tanpa revolusi pola pikir ini, pendidikan vokasi hanya akan terus memproduksi pengangguran bersertifikat kompetensi.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
