Hapus 3 Nol Rupiah: Rakyat Untung atau Malah Buntung?

Fahrezi Chandra
Di balik wajah baru Rupiah yang "glowing" tersebut, tersimpan risiko yang dapat membuat dompet rakyat menjerit. Foto: Nano Banana

SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Wacana untuk menyulap uang Rp10.000 menjadi Rp10—atau dikenal dengan redenominasi—kembali hangat dibicarakan. Sekilas, rencana ini terdengar keren. Rupiah kita akan terlihat gagah, ringkas, dan setara dengan Dolar AS. Tidak ada lagi deretan angka nol yang bikin pusing saat transfer uang.

Tapi Jangan terburu-buru terpesona. Di balik wajah baru Rupiah yang "glowing" tersebut, tersimpan risiko yang dapat membuat dompet rakyat menjerit jika tidak dieksekusi dengan hati-hati. Ini bukan sekadar membuang nol, ini pertaruhan ekonomi.

Jebakan "Ilusi Harga Murah"

Bahaya terbesar justru ada di kepala kita sendiri. Para ahli menyebutnya money illusion atau ilusi uang. Otak kita punya kelemahan: sering menganggap angka kecil berarti harga murah.

Bayangkan Anda biasa membeli kopi kekinian seharga Rp50.000. Setelah redenominasi, harganya berubah jadi Rp50. Secara nilai memang sama, tapi secara perasaan, Rp50 terasa jauh lebih enteng dikeluarkan daripada Rp50.000.

Akibatnya? Kita jadi lebih gampang belanja. "Ah, cuma 50 perak," pikir kita. Tanpa sadar, perilaku boros ini bisa bikin pengeluaran bulanan jebol. Jika jutaan orang berpikir sama, harga barang-barang akan naik karena permintaan melonjak. Ujung-ujungnya, inflasi mengintai.

Waspada "Pembulatan Harga" di Pasar

Risiko kedua lebih nyata lagi, terutama bagi ibu-ibu yang belanja di pasar tradisional. Masalahnya ada pada uang kembalian dan pembulatan harga.

Ambil contoh harga seikat kangkung Rp2.800. Jika tiga nol dipangkas, harganya menjadi Rp2,8. Masalahnya, apakah akan ada uang pecahan 0,2 atau 20 sen? Kemungkinan besar, pedagang akan membulatkannya ke atas menjadi Rp3 karena alasan "tidak ada kembalian".

Kenaikan dari 2,8 ke 3 terlihat sepele. Tapi coba hitung persentasenya, itu kenaikan harga yang lumayan besar. Jika pembulatan ini terjadi pada beras, telur, minyak, dan tarif angkutan, maka biaya hidup rakyat kecil akan merangkak naik secara diam-diam. Siapa yang rugi? Tentu konsumen.

Trauma Masa Lalu dan Kepanikan

Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) punya tugas berat meyakinkan masyarakat bahwa ini bukan sanering (pemotongan nilai uang yang memiskinkan rakyat) seperti yang pernah terjadi di masa lalu.

Trauma sejarah itu masih ada. Jika sosialisasi gagal, masyarakat bisa salah paham. Ketakutan uangnya tidak laku atau nilainya dipotong bisa memicu kepanikan. Orang bisa beramai-ramai menarik uang di bank (rush money) atau menukar Rupiah ke Dolar. Kalau ini terjadi, ekonomi bisa goyang.

Mengubah sistem uang negara butuh biaya triliunan Rupiah. Mulai dari cetak uang baru, tarik uang lama, hingga update sistem mesin ATM dan kasir di seluruh Indonesia.

Pertanyaannya sederhana: Apakah ini prioritas kita sekarang? Di saat harga bahan pokok masih naik turun dan ekonomi rakyat baru mau bangkit, rasanya "mempercantik" Rupiah belum mendesak.

Kita tidak butuh Rupiah yang sekadar angkanya ringkas. Kita butuh Rupiah yang "sakti"—yang nilainya stabil dan bisa dipakai membeli banyak barang. Jangan sampai kita sibuk menggunting nol, tapi lupa menjaga isi dompet rakyat.

Penulis:

DEWI RAHMA SANTOSO, MAHASISWA EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS AIRLANGGA

Editor : Arif Ardliyanto

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network