Ia menambahkan, saat itu wilayah Malang dan sekitarnya memang belum dalam penguasaan Belanda. Namun pergerakan Belanda yang terus merangsek ke selatan memasuki daerah Porong, membuat pejuang sekitar Malang bersiaga.
Antisipasi pun dilakukan para pejuang termasuk tokoh-tokoh ulama Islam di Malang dan sekitarnya, mereka bersama-sama rakyat dan gerilyawan berlatih perang dan membekali dengan ilmu spiritual, yang akan dikirim ke Porong untuk berjuang melawan Belanda dan sekutunya.
"Di saat di sana itu gerilya itu dikirim rata-rata cuma dibekali istilahnya tahan peluru, minum telur ayam, dikasih doa ditelan. Biar orang-orang yang mau berangkat untuk gerilya biasanya diangkut menuju perbatasan frontnya, di daerah Porong dikirim ke sana," terang pria yang juga penasehat takmir Masjid At Thohiriyah, Bungkuk.
"Dari mana-mana dari Jember ke sana, dari Malang ke sana, Singosari ini tempat mengemblengnya mengebalkan di sini, nggak ada markas tentara tentara nggak ada baru berdiri Oktober, nggak ada waktu itu yang ada gerilyawan," tambahnya.
Ia masih ingat betul selain di Bungkuk, Singosari, rumah orang tuanya KH. Nachrawi juga digunakan para pejuang gerilyawan berkumpul. Di sana para pejuang ini dibekali ilmu agama, peperangan, dan terpenting kebal saat ditembak senjata api oleh Belanda dan sekutunya. Bahkan KH. Nachrawi turut turun langsung membekali para pejuang untuk berperang, termasuk ilmu kekebalan terhadap senjata itu.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait