Pasukan elit Indonesia memiliki kelebihan, salah satunya melakukan penyamaran. Namun, penyamaran yang dilakukan tidak biasa-biasa, banyak hal-hal sulit yang terjadi. Mereka tidak boleh diketahui, bahkan menyamar menjadi penjual kaki lima hingga menjadi sopir juga dilakukan untuk mengetahui pergerakan lawan.
Kisah penyamaran intel Kopassus sangat menarik untuk diketahui, karena Kopassus merupakan Komando Pasukan Khusus adalah pasukan elite milik TNI AD yang terkenal lihai dalam melakukan penyamaran. Biasanya, intel Kopassus menyamar untuk mengumpulkan informasi.
Mereka akan membaur dalam masyarakat dengan berbagai cara, mulai dari menjadi sopir hingga berpura-pura menjadi orang mati. Bagaimana kisahnya? Berikut 3 kisah penyamaran intel Kopassus yang berhasil dirangkum tim Litbang MPI.
Kisah penyamaran intel Kopassus pertama adalah menjadi tukang durian. Dalam buku ‘Kopassus Untuk Indonesia’ karya Iwan Santosa E.A Natanegara, sebagaimana dikutip dari Okezone, dikisahkan ada seorang prajurit Kopassus bernama Sersan Badri (nama samaran) yang menyamar sebagai tukang durian.
Ia melakukan hal tersebut dalam misi menumpas eksistensi GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Sebagai penjual durian, Badri mengantarkan dagangannya itu dari Medan ke Lhokseumawe. Setiap melewati pos penjagaan, Badri selalu diminta memberikan durian untuk aparat penjaga.
Ia memberikan durian dengan jumlah banyak, karena yang berjaga di pos tersebut ada 1 pleton anggota. “Kalau saya berikan 2 durian, justru ditempeleng,” kata dia.
Dengan menjadi pedagang, Badri mengaku sangat mudah masuk ke dalam wilayah Aceh yang dijaga ketat oleh GAM. Ia juga bisa mendapat kepercayaan dari prajurit GAM dan memetakan situasi lapangan di wilayah tersebut, khususnya di wilayah Lhokseumawe yang menjadi basis militer GAM.
Menyamar Sebagai Sopir
Masih berlatar peristiwa GAM di Aceh, salah satu prajurit Kopassus juga ada yang pernah menyamar menjadi sopir, yakni Letjen TNI (Purn) Sutiyoso. Berikut kisah penyamaran intel Kopassus sebagai sopir.
Melansir Sindonews, Sutiyoso yang kala itu masih berpangkat mayor mendapat tugas untuk menangkap petinggi GAM Hasan Tiro dan orang-orang lain yang ada di dekatnya. Setelah beberapa lama tak dapat mengetahui keberadaan Hasan, Sutiyoso akhirnya berhasil mengendus keberadaan Hasan dari seorang juru masak.
Namun, saat Sutiyoso hendak melakukan penyergapan, Hasan telah melarikan diri. Tak putus asa, Sutiyoso terus menggali keterangan dan mengetahui bahwa Hasan mengutus Usman, Menteri Keuangan GAM, ke rumah seorang guru ngaji. Nantinya, guru ngaji tersebut akan mengantarkan Usman ke rumah seorang pengusaha di Lhokseumawe.
Dengan gerak cepat, Sutiyoso langsung menemui sang pengusaha dan mengaku sebagai pebisnis. Ia mengajak pengusaha tersebut untuk datang ke kediamannya guna melakukan pembahasan lanjutan.
Pengusaha tersebut setuju dan datang didampingi seorang sekretarisnya. Saat tiba di rumah Sutiyoso, ia langsung menginterogasi pengusaha itu, didampingi Kapten Lintang Waluyo, yang merupakan seorang perwira intel.
Mereka meminta keterangan terkait keberadaan Usman dan ternyata Usman sedang berada di rumah kakaknya di Medan. Sutiyoso berniat melakukan penangkapan seorang diri. Ia langsung berangkat ke Medan bersama pengusaha itu.
Sesampainya di sana, Sutiyoso menjabarkan strategi yang akan ia gunakan dan meminta pengusaha tersebut untuk menjadikannya sebagai sopir.
Singkat cerita, Usman berhasil ditangkap dan banyak memberikan keterangan tentang keberadaan Hasan. Setelah digali, ternyata Hasan sudah melarikan diri ke Malaysia melalui pintu Utara yang tidak dijaga aparat.
Menyamar Jadi Mayat
Kisah penyamaran intel Kopassus yang juga terkenal adalah menjadi orang mati di tengah tumpukan mayat teman-temannya. Hal ini dilakukan oleh Prada Pardjo saat bertugas dalam perebutan Irian Barat di tahun 1961 sampai 1962.
Kala itu, Pardjo masuk dalam PGT atau Pasukan Gerak Tjepat (kini bernama Paskhas) dan diterjunkan ke dalam hutan Papua. Sayangnya, mereka disergap oleh Korps Marinir Kerajaan Belanda di wilayah Fakfak dan kalah secara jumlah personel. Pardjo dan rekan-rekannya terpaksa harus mundur.
Saat keadaan dirasa sudah kondusif, pasukan Pardjo keluar untuk menyusup. Namun, mereka dikejutkan dengan kondisi sebuah perkampungan yang sudah porak-poranda akibat dibakar pihak Belanda.
PGT kemudian memutuskan untuk beristirahat di sekitar kampung itu. Tak berapa lama, mereka mendapat serangan dari tentara Belanda dan memaksa untuk melakukan gencatan senjata.
Beberapa rekan Pardjo gugur karena terkena timah panas. Bahkan, Pardjo juga turut terluka akibat tertembak peluru milik tentara Belanda. Karena tak kuat berdiri, ia harus merangkak untuk bersembunyi di balik jasad rekan-rekannya. Ia pun melakukan penyamaran, seolah-olah sudah tewas.
Setelah itu, mobil patroli tentara Belanda berkeliaran dan membuatnya tak bisa bergerak. Pardjo harus tidur dengan jasad rekannya selama 5 hari, sebelum akhirnya berhasil diselamatkan warga dan dirawat.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait