Oleh karena itu, sebelum masuk ke tahap pembuktian di persidangan, Mia mengatakan ada tahapan proses yang harus dilalui. Salah satunya adalah penyerahan tersangka dan alat bukti dari penyidik kepada penuntut umum. Akan tetapi proses itu menjadi terhambat lantaran tersangka MSA selalu mangkir dari panggilan penyidik bahkan melarikan diri dalam proses penangkapan.
Mia kemudian menilai, tindakan tersangka MSA itu bagian dari melawan hukum dengan menggunakan opini publik untuk mempengaruhi proses penegakannya.
Menurut Mia opini yang dicoba dibangun oleh tersangka MSA beserta keluarga dan kelompok atau pengikutnya bahwa yang bersangkutan tidak pernah melakukan tindak pidana yang disangkakan, melainkan merupakan korban fitnah, bertujuan menggiring opini di masyarakat.
“Sehingga ketika terjadi proses penangkapan sebagai salah satu upaya paksa untuk penegakan hukum, masyarakat diharapkan percaya atas opini tersebut dan melindungi pelaku kejahatan tersebut dari aparat penegak hukum yang dicitrakan oleh mereka telah bertindak sewenang-wenang karena menindak orang yang salah. Yang justru merupakan korban dari suatu fitnah yang dilancarkan oleh pelapor ataupun korban tindak pidana,” paparnya.
Ia lantas mempertanyakan, bagaimana bisa membuktikan tersangka MSA sebagai korban fitnah bila yang bersangkutan tidak bersedia mengikuti proses hukum untuk membuktikan tuduhannya itu.
Mia lalu menegaskan, bahwa semua orang mempunyai kedudukan sama di hadapan hukum. “Maka warga negara dalam berhadapan dengan hukum tidak ada yang berada diatas hukum. ‘No man above the law’ artinya tidak ada keistimewaan yang diberikan oleh hukum pada subjek hukum,” tutupnya.
Editor : Arif Ardliyanto