SURABAYA, iNews.id - Langkah Aminudin terus berjalan di antara batang pepohonan, rerumputan dan dedaunan gugur kawasan hutan liar.
Sebagai aktivis lingkungan, ia kerap bercengkrama dengan alam luas dan menetap selama semalam hingga berminggu untuk melakukan identifikasi flora dan fauna endemik.
"Ada reaksi harus ada aksi," kata pria yang lekat disapa Cak Cimin tersebut, Jumat (2/9/2022).
Reaksi dan aksi adalah dua taut kata seperti permasalahan dan solusi. Demikian pula tugas seorang conservationmate atau kader konservasi.
Penelitian terhadap satwa endemik bertujuan melestarikan keberadaan mereka di alam liar.
"Karena beberapa di habitat aslinya sudah hampir tidak ditemukan," jelasnya.
Padahal, lanjut Cimin, di luar kawasan hutan primer tersebut masih banyak dijumpai. Seperti penangkaran maupun pedagang.
Artinya, pengembang biakan justru terjadi di luar kawasan. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan menjadi perhatian para konservator.
Cak Cimin berkawan dengan dunia konservasi sejak satu dekade terakhir bersama Non Government Organization (NGO). Ia juga memegang lisensi kader konservasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
"Saya menyukai alam," ucap pria yang aktif sebagai anggota pecinta alam sejak mahasiswa tersebut.
Ia selalu mengedepankan konsep 3P. Penyelamatan, Pemanfaatan dan Pelestarian. Sementara mencintai lingkungan identik dengan menjaga keanekaragaman.
Dari dunia konservasi dan inventarisasi satwa endemik, Cimin mendapat banyak pengalaman berharga yang kemudian ia aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Baik kepada anak-anaknya maupun juniornya di komunitas pecinta alam.
Sarjana Teknik Unitomo tersebut biasanya terjun langsung mulai identifikasi sosial pedesaan atau kawasan habitat target penelitian.
"Tujuan utama kita kulo nuwun karena kadang kita melewati daerah-daerah yang dianggap sakral. Memang kebanyakan di daerah itu merupakan habitat-habitat satwa liar itu berada, makanya disakralkan," jelasnya.
Secara logis, nenek moyang mengajarkan banyak bahasa simbolik sejak dahulu kala agar tidak merusak habitat satwa maupun tumbuhan di pedalaman hutan. Sehingga kehidupan mereka tidak terganggu oleh ulah manusia.
Kadang kala, nenek moyang memberi sesajen berupa makanan di bawah pohon besar yang kemudian menjadi santapan bagi penghuninya.
Satu pohon ibarat sebuah kota bagi ekosistem kehidupan flora fauna. Mulai dari hewan kecil hingga hewan pengerat seperti tupai.
Padahal menurut penelitian, hewan-hewan liar tersebut dapat hidup sendiri tanpa perlu mendapat makanan dari manusia.
"Pohon besar adalah tempat berdiamnya berbagai macam satwa. Ada burung, monyet, tupai, ulat, tawon dan sebagainya. Jika satu ditebang, seperti sebuah kota dirubuhkan sehingga satwa tersebut pindah dan kadang menyerang tempat hidup manusia," kata dia.
Demikian pula kasus laporan penyerangan satwa di area peradaban manusia seperti itu bisa menjadi dasar bagi seorang peneliti untuk terjun ke lokasi primer.
"Makanya perlu ada kajian-kajian penelitian yang bisa mematahkan bahwa di situ ada kegiatan yang tidak seharusnya seperti di daerah tambang," ungkapnya.
Setiap melakukan kajian, peneliti hanya melakukan inventarisasi satwa. Tidak menyentuh ranah operasional industri sampai hasil penelitian keluar apakah aktivitas manusia tersebut bisa dilanjutkan atau dihentikan.
"Banyak pro dan kontra antara pegiat konservasi. Tapi saya hanya melakukan identifikasi dan memberikan laporan yang benar," kata dia.
Bagi pejuang konservasi, profit bukan tujuan utama. Namun sejatinya, setiap ada reaksi harus ada aksi.
Editor : Ali Masduki