Berkembangnya dunia dengan kemajuan teknologi semakin memperpendek jarak antar negara, kondisi ekonomi suatu negara yang baik dan maju sudah barang tentu akan mengundang datangnya orang asing untuk menginvestasikan dana yang dimiliki pada suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang rata rata 5 persen cukup menarik orang asing untuk melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia baik kegiatan pendanaan, pembangunan industry, perdagangan dan lain-lainya.
Dalam setiap Kerjasama antara orang Indonesia dan orang asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia pasti di bingkai oleh sebuah perjanjian. Karena perjanjian itu dibuat di Indonesia, maka aturan aturan hukum tentang perjanjian menurut hukum Indonesia lah yang berlaku.
Berdasarkan hukum Indonesia suatu perjanjian dinyatakan sah secara hukum berdasarkan Pasal 1320 BW harus memenuhi empat syarat, yaitu :
Kecakapan, yaitu pihak pihak yang membuat perjanjian cakap secara hukum baik secara usia maupun cakap secara kewenangan, berdasarkan pasal 1330 KUH Perdata orang dikatakan tidak cakap membuat perjanjian adalah orang yang belum dewasa dan mereka yang ditaruh dalam pengampuan missal orang yang memiliki ganguan mental, orang yang dinyatakan pailit.
Adanya kesepakatan diantara para pihak, apa apa yang diperjanjiakan telah disepakati oleh para pihak dalam Bahasa hukumnya bertemunya kehendak yang diinginkan para pihak dalam perjanjian. Kesepakatan para pihak dibangun atas dasar kebebasan kehendak dari pihak yang membuat perjanjian yang bebas dari unsur paksaan, penipuan dan kekhilafan.
Mengenai objek tertentu yaitu apa-apa yang diperjanjikan jelas objeknya atau jelas apa objek perjanjianya.
Sebab yang halal, yaitu isi perjanjian yang dibuat para pihak tidak bertentangan dengan undang-undang-kesusilaan maupun dengan ketertiban umum.
Dari 4 syarat tersebut diatas oleh hukum dibagi menjadi 2 golongan yaitu:
Syarat subjektif, syarat no 1 dan no 2 diatas merupakan syarat subjektif perjanjian
syarat objektif, syarat no 1 dan no 2 diatas merupakan syarat objektif perjanjian
Akibat hukum Jika Syarat Subjektif atau objektif Perjanjian Tidak Terpenuhi
Perjanjian yang dibuat apabila memenuhi 4 syarat sahnya perjanjian diatas, maka pernajian tersebut sah secara hukum. Akan tetapi jika, jika salah satu syarat baik yang subjektif maupun yang objektif tidak dipenuhi maka membawa konsekuensi hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau perjanjian batal demi hukum.
Perjanjian Dapat Dibatalkan (Voidable)
Perjanjian dapat dibatalkan jika perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat subjektif perjanjian yaitu syarat pertama dan kedua atau salah satunya. Akibat hukum tidak dipenuhinya syarat subjektif perjanjian maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan dengan cara salah satu pihak meminta pembatalan ,elalui pengadilan, selama belum ada putusan pengadilan perjanjian tersebut tetap berlaku mengikat para pihak.
Perjanjian Batal Demi Hukum (Null and Void)
Perjanjian batal demi hukum jika perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat objektif perjanjian yaitu syarat ketiga dan keempat atau salah satunya. Akibat hukum tidak dipenuhinya syarat objektif perjanjian, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, dalam arti perjanjian yang dibuat sebelumnya dianggap tidak pernah ada sehingga tidak mengikat para pihak meskipun belum ada putusan dari pengadilan.
Untuk menyatakan sebuah perjanjian dapat dibatalkan maupun batal demi hukum harus tetapa mengunakan institusi pengadilan untuk memutuskanya.
Perjanjian Harus Dilaksanakan Dengan Itikat Baik
Jika perjanjian sudah ditutup dan ditanda tangani oleh para pihak yang membuat perjanjian, mereka harus melaksanakan dengan itikad baik. Dalam Bahasa sederhananya itikad baik itu adalah para pihak menjalankan semua yang menjadi kesepakatan dala perjanjian dengan kejujuran, niat baik dan tulus tanpa adanya keinginan untuk berbuat curang.
Kewajiban Mengunakan Bahasa Indonesia Dalam Membuat Perjanjian
Pihak pihak yang membuat perjanjian dalam dunia yang semakin menglobal ada kemungkinan salah satu pihaknya adalah orang asing, yang mana pasti terdapat perbedaan Bahasa, jika hal ini terjadi bagaimana hukum Indonesia memberikan jalan jika salah satu pihak yang membuat perjanjian adalah orang asing.
Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan peraturan tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara Dan Lagu Kebangsaan yaitu Undang-Undang No 24 Tahun 2009, dalam Pasal 31 ayat (1) dinyatakan Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga Negara Indonesia.
Berdasarkan aturan tersebut diatas jelas jika Lembaga atau perorangan Indonesia membuat perjanjian wajib mengunakan Bahasa Indonesia, termasuk bila salahsatu pihaknya adalah orang asing. Lalu bagaimana jika orang asing yang membuat perjanjian tersebut tidak mengerti Bahasa Indonesia? Dalam dunia praktek jika perjanjian melibatkan orang asing, maka perjanjian akan dibuat dalam 2 (dua) Bahasa.
Akibat Hukum Jika Ada Perjanjian Perdata Antara Perusahaan Indonesia Dan Perusahaan Asing Yang Dibuat Tidak Mengunakan Bahasa Indosesia
Untuk menjawab isu hukum tersebut kita harus kembalikan pada aturan dasar syarat-syarat sahnya perjanjian. Menurut UU 24 Tahun 2009 Pasal 31 Ayat (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga Negara Indonesia.
Aturan tersebut sifatnya imperative yaitu mewajibkan atau mengharuskan tidak boleh tidak, jika ada perjanjian yang melibatkan orang asing tidak dibuat mengunakan Bahasa Indonesia jelas melanggar undang-undang, melanggarr undang undang berarti juga melanggar ketentuan syarat sahnya perjanjian point 4.
Oleh Karena tidak dipenuhinya syarat objektif perjanjian, maka membawa Akibat hukum perjanjian tersebut Batal Demi Hukum, perjanjian yang dibuat sebelumnya dianggap tidak pernah ada sehingga tidak mengikat para pihak meskipun belum ada putusan dari pengadilan.
Hal ini sesuai juga Putusan Mahkamah Agung RI No. 601 K/Pdt/2015, tanggal 31 Agustus 2016 yang menyatakan ‘’ Perjanjian perdata antara perusahaan Indonesia dan perusahaan asing yang dibuat dan ditandatangani tanpa ada versi bahasa Indonesia adalah batal demi hukum karena melanggar ketentuan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Kadang kala aturan pasal 31 ayat (1) tersebut diatas dijadikan celah bagi institusi swasta indonesia yang membuat perjanjian dengan pihak asing, begitu perjanjian yang hanya dibuat dalam satu Bahasa asing tidak menguntungkan bagi dia, maka diajukan gugatan ke pengadilan untuk dinyatakan perjanjian tersebut batal demi hukum.
Menurut Profesor Dr Isnaini S.H, M.S dosen fakultas hukum unair, jika terdapat kasus yang demikian seyogyanya hakim lebih mendahulukan tegaknya Prinsip Itikad Baik sebagimana yang diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 jo 1965 KUH Perdata, mengingat Prinsip Itikad Baik itu merupakan QUEEN (inti) dari seluruh prinsip Hukum Perjanjian. Karena merupakan Queen, bahkan asas kebebasan kontrak sekalipun wajib mematuhi dan tunduk pada queen nya.
Dalam persidangan secara kasuistis kewenangan menentukan adanya itikad baik atau tidak itu ada pada hakim, jika ada niat untuk menghindari kewajiban dalam perjanjian dengan bersembunyi dibalik ketentuan pasal 31 ayat (1) UU tentang Bahasa dan lambang negara, secara kasuistis hakim harus bisa memberikan keadilan disana.
Penulis : Sujianto, SH, M.Kn
Kantor Hukum Oktavianto & Associates
Jalan Patua Nomor 21-C, Kota Surabaya
Kontak telpon/ WhatsApp : 0877-2217-7999
Email : [email protected]
Editor : Arif Ardliyanto