Dewan Pembina PSI juga dituliskan memiliki kewenangan untuk memutuskan, menyetujui, membatalkan seluruh kebijakan Partai di semua jenjang struktur Partai. Saat ini, Ketua Dewan Pembina PSI dijabat oleh pengusaha Jeffrie Geovani, Wakil Ketua Dewan Pembina Grace Natalie, dan Sekretaris Dewan Pembina Raja Juli Antoni.
Airlangga Pribadi, yang merupakan doktor alumnus Murdoch University Australia, menjelaskan, analisisnya yang menyatakan PSI bertendensi otoriter adalah berawal dari kritik terhadap AD/ART. Mengacu pada AD/ART merupakan cara pandang ilmiah dengan menggunakan pendekatan kelembagaan dan kelembagaan baru atau political institutionalism atau new institutionalism.
“Dalam institusionalisasi politik, maka pijakan analisis memegang peran penting yaitu terkait proses pelembagaan yang di dalamnya ada regulasi, salah satunya adalah AD/ART sebagai aturan utama dari partai politik,” jelas Airlangga.
Dari kajian kelembagaan itulah, lanjut Airlangga, dapat diketahui bahwa ternyata Dewan Pembina PSI dapat menjadi apa saja sehingga bisa menganulir suara dari bawah. Selain itu, keanggotaan Dewan Pembina ditegaskan permanen seumur hidup kecuali yang bersangkutan mengundurkan diri atau meninggal dunia.
“Bukti di Anggaran Dasar itu memperlihatkan jejak-jejak diktatorial atau otoritarianisme pada tubuh PSI. Ini di Anggaran Dasar lho ya, bukan saya yang bilang. Jadi kok tidak mau disebut bertendensi otoriter?” ujarnya.
Dia menambahkan, yang juga dipertanyakan oleh publik adalah Dewan Pembina PSI yang dapat menjadi apa saja yang kemudian memberi ruang konstitusional partai untuk sangat membatasi posisi ketua umum partai guna menjalankan perannya dalam mengelola partai.
“Sehingga dari rujukan regulasi institusional, terbuka ruang kiprah ketua umum sangat dibatasi oleh peran tak terbatas dari Dewan Pembina," ujarnya.
"Konsekuensi terjauh dari posisi ini adalah Ketum PSI bisa tidak lebih sebagai alat atau “boneka” dari dewan pembina dalam internal PSI,” jelas Airlangga yang juga salah seorang penulis buku “Globalisasi dan Neoliberalisme: Pengaruh dan Dampaknya bagi Demokratisasi Indonesia”.
Editor : Arif Ardliyanto