_She wasn't Helen of Troy_
_Whose beauty drove men to destroy_
Kita membayangkan lirik awal salah satu lagu God Bless itu saat melihat Siti Atikoh berjalan di “Tunjungan Romansa”, Surabaya—kawasan ekonomi kreatif yang diinisiasi dan dikolaborasikan oleh Wali Kota Eri Cahyadi; menyapa banyak orang di sana dengan senyumnya yang khas, ceria, dan menyenangkan. Dia seperti menyampaikan pesan, bahwa tidak apa-apa sebuah bangsa memiliki harapan.
Siti Atikoh bukan Helena, sosok dalam babad Iliad dari Yunani Kuno, yang menyebabkan pertempuran dahsyat antar-kerajaan. Kekuatannya bukan pada kekayaan dan pesona paras semata, melainkan pada kata-kata, gesture, dan pembawaannya yang positif. Bahasa anak muda kekinian: vibes-nya positif banget!
Sebagaimana sang suami, Ganjar Pranowo, Atikoh seorang pembawa pesan yang baik dan artikulatif, yang tampil tanpa menghakimi.
Salah satu pesan yang menunjukkan kekuatan itu terlihat saat momen perjumpaan dengan umat lintas agama di Surabaya, yang juga diunggah di akun Instagram-nya @atikoh.s. “Saya mengenakan hijab karena saya merdeka. Merdeka memilih dan memutuskan. Karena itu saya menghormati kemerdekaan orang lain. Menghormati perbedaan.”
Di momen itu, Atikoh mengirim pesan tiga hal yang seringkali direpresentasikan oleh Barat sebagai kontradiksi: hijab, kemerdekaan, perbedaan. Setelah komunisme runtuh, Samuel Huntington menganggap Islam sebagai representasi apapun yang berlawanan dengan demokrasi. Hijab adalah simbol penindasan terhadap perempuan dan doktrin Islam yang tak menyukai perbedaan.
Namun Atikoh dengan cerdas mengirimkan pesan untuk menepis semua syak-wasangka itu. Fakta bagaimana dia berada di sebuah momen umat lintas agama semakin menegaskan apa yang ingin disampaikannya. “Berbeda dalam iman, bersatu dalam kemanusiaan,” kata Atikoh.
Editor : Arif Ardliyanto