SURABAYA, iNews.id - Kisah Patih Djojodigdo pemilik ilmu Aji Pancasona. Jika menyebut tentang makam gantung maka orang akan teringat Djojodigdo, seorang patih di Kadipaten Blitar, Jawa Timur, yang sakti mandraguna.
Kesaktian sang patih dikarenakan memiliki ilmu Aji Pancasona, yang bisa hidup kembali ketika dia wafat apabila jasadnya menyentuh tanah.
Sebelum diangkat menjadi patih, Djojodigdo muda dikenal suka melakukan tirakat atau lelakon dan berpuasa sehingga mendapatkan berbagai macam ilmu kanuragan dan kesaktian yang dia kuasai.
Bahkan gurunya tidak hanya berasal dari bangsa manusia saja melainkan juga dari bangsa lelembut atau bangsa jin. Maka tak heran Djojodigdo bisa menguasai Ajian Pancasona atau yang biasa disebut juga Ajian Rawa Rontek.
Djojodigdo adalah sahabat sekaligus pengikut Pangeran Diponegoro. Dia juga memiliki keturuan darah biru atau trah ningrat dari Kerajaan Mataram karena merupakan putra Adipati Kulon Progo. Kesaktiannya teruji ketika terjadi peperangan antara Belanda dengan Pangeran Diponegoro.
Sebagai pengikut Pangeran Diponegoro, Djojodigdo yang waktu itu masih berusia 30 tahun ikut melakukan perlawanan dengan Belanda bahkan ikut perang gerilya meskipun saat itu Pangeran Diponegoro telah ditangkap dan diasingkan.
Djojodigdo menjadi orang yang paling ditakuti Belanda karena kesaktian Aji Pancasonanya yang dia miliki. Dia dapat beberapa kali hidup kembali meskipun sudah dieksekusi oleh para tentara Belanda.
Begitu jasadnya dibuang, dia dapat hidup kembali tanpa sepengetahuan dari tentara Belanda. Namun pada saat itu wilayah Yogyakarta banyak dijaga oleh para tentara Belanda maka Djojodigdo memilih berperang secara gerilya dan menuju ke arah timur beserta para pengikutnya. Hingga akhirnya sampailah Djojodigdo beserta pengikutnya di wilayah Blitar bagian selatan.
Di kota ini tanpa sepengetahuan penguasa Kota Blitar, Djodigdo beserta pasukannya melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda sehingga Belanda merasa takut terhadap kesaktian Dojodigdo.
Akhirnya Belanda melepaskan pengawasan terhadap Kadipaten Blitar. Dengan adanya hal tersebut membuat Adipati Blitar merasa heran, siapa yang membuat Belanda melepaskan pengawasan terhadap daerahnya tersebut.
Kemudian Adipati Blitar mengirim utusan telik sandi untuk mencari tahu dan pada akhirnya utusan telik sandi tersebut menemukan Djojodigdo di sebuah hutan yang masuk di wilayah Blitar Selatan.
Atas perintah Adipati Blitar, utusan telik sandi mengundang Djojodigdo untuk datang ke pendopo namun permintaan utusan Adipati Blitar ini ditolak dengan halus.
Alasannya adalah pada waktu itu Djojodigdo masih sibuk melatih pasukannya untuk melawan tentara Belanda. Karena penolakan halus dari Djojodigdo ini maka utusan telik sandi langsung pulang dan melapor ke Adipati Blitar.
Dua tahun kemudian Adipati Blitar kembali mengirim utusan namun saat itu patih di Kadipaten Blitar mangkat atau meninggal dunia dan harus segera dicarikan pengganti.
Maksud adipate mengirimkan utusannya yang kedua kalinya ini adalah agar Djojodigdo bersedia menjadi patih di Kadipaten Blitar. Dikarenakan banyaknya tentara Belanda yang meninggalkan daerah Blitar karena serangan dari pasukannya maka Djojodigdo bersedia menjadi patih di Kadipaten Blitar.
Sebagai keturunan darah biru atau trah ningrat yang pernah tinggal di kraton, ketika Djojodigdo diangkat menjadi patih sudah tidak asing lagi dengan sistem pemerintahan.
Maka sang patih pun mampu mengambil kebijakan yang sangat baik. Hal inilah yang membuat salut Sang Adipati Blitar sehingga sang adipate memberinya hadiah sebidang tanah yang sekarang berada di Jalan Melati Kota Blitar.
Dari pemberian tanah tersebut Djojodigdo akhirnya membangun rumah besar beserta keluarganya yang diberi nama Pesanggrahan Djojodigdo. Rumah yang dibangun oleh Djojodigdo ini hingga saat ini masih berdiri kokoh.
Sebagai manusia biasa meskipun mempunyai Aji Pancasona, Djojodigdo akhirnya wafat pada tahun 1905, di usia 100 tahun lebih. Dengan Ajian Pancasona ini seseorang tersebut akan bisa hidup kekal abadi hingga akhir kiamat nanti.
Seseorang yang mempunyai Ajian Pancasona ini dikatakan hanya bisa wafat apabila tubuhnya dipisah menyeberangi sungai dan digantung agar tidak mnyentuh tanah. Jika jasadnya menyentuh tanah maka bagian-bagian tersebut akan bersatu dan orang yang mempunyai ajian ini bisa hidup kembali.
“Eyang Djojodigdo dikabarkan pernah wafat sehari tiga kali, tapi setiap akan dikuburkan pada saat jasadnya menyentuh tanah maka akan hidup lagi dan langsung bangkit,” ujar Lasiman, usia 70 tahun, juru kunci makam di lokasi makam Jalan Melati No.43 Blitar.
“Beliau wafat karena Ilmu Pancasona yang diambil dari sang guru yang memberikan ilmu tersebut. Guru beliau bernama Kiai Imam Sujono atau Eyang Jugo yang wafat di usia 84 tahun karena sudah tua,” lanjut Lasiman.
Supaya tidak bisa hidup lagi maka ketika Djojodigdo wafat jasadnya digantung yang sebelumnya dimasukkan di dalam peti besi dan dikasih tiang penyangga sebanyak 4 buah yang terbuat dari besi sehingga masyarakat Blitar menyebutnya dengan makam gantung. Makam tersebut terlatak di Jalan Melati Blita, Jawa Timur, sekitar satu kilometer dari Makam Presiden Soekarno.
Makam eyang sakti yakni Eyang Djojodigdo tersebut pada hari-hari tertentu banyak didatangi oleh peziarah terutama dari kalangan spiritual.
Berbeda dengan peziarah biasa, kaum spriritualis ini datang ke makam dengan maksud tertentu yakni ingin berguru ke Eyang Djojodigdo secara ghaib. Tujuannnya adalah untuk mendapatkan titisan ilmu Aji Pancasona.
Makam Eyang Djojodigdo diyakini juga dijaga oleh dua sosok ghaib berwujud dua binatang besar yakni berupa ular raksasa sebesar pohon kelapa dan seekor harimau loreng sebesar anak sapi.
Dua sosok ghaib penjaga makam ini konon merupakan parewangan pribadi Eyang Djojodigdo semasa hidup yang berasal dari bangsa lelembut atau jin yang berwujud binatang. Karena kesetiaannya kepada majikan ketika Eyang Djojodigdo wafat maka dua parewangan tersebut masih setia menjaga majikannya tersebut.
Editor : Ali Masduki