SURABAYA, iNews.id - Siapa sangka, dibalik bengisnya preman jalanan ternyata ada sesuatu yang sengaja dirahasiakan. Bisa jadi, jadi preman yang kerap bikin ulah, suka tawuran dan berbuat sesuka hati tersebut merupakan kamuflase agar identitas aslinya tidak terendus.
Potret preman yang menakutkan itu terpatri pada sosok pemuda asal Pulau Bawean Gresik, Jawa Timur. Dia adalah Tahir atau yang lebih dikenal dengan nama Harun.
Tahir merupakan anak ke-3 dari pasangan Mahdar dan Aswiyani. Ia lahir di Dusun Walu Tumpuh, Desa Diponggo, Bawean, Kabupaten Gresik, pada 4 April 1947.
Di rumah sederhana berukuran 7 x 12 meter, Tahir tumbuh dan dibesarkan bersama saudaranya, yakni Samsuri, Ruaidah, Asiyah dan Nawawi.
Rumah masa kecil Tahir, di Dusun Walu Tumpuh, Desa Diponggo, Bawean, Kabupaten Gresik. (Foto: Ali Masduki)
Muhammad Salim, keponakan Tahir, bercerita bahwa pamannya sejak kecil sudah terkenal nakal. Sampai-sampai pernah diikat oleh petani gara-gara mencuri padi untuk dibagikan pada warga kurang mampu.
Namun Tahir tidak lama hidup di Bawean. Setelah lulus Sekolah Rakyat (SR), ia memutuskan merantau ke Ibu Kota, menyusul saudaranya yang sudah dulu merantau disana.
Semenjak merantau, Tahir atau Harun muda tidak pernah pulang ke Bawean. "Beliau hanya berkirim surat lewat teman-temannya yang pulang ke Bawean," ungkap Salim.
Bahkan, apa yang dikerjakan oleh Harun selama diperantauanpun, keluarga di Bawean tidak banyak yang tahu. "Bahwa harun pernah bersekolah di pelayaran hingga menjadi anggota KKO, keluarga juga tidak tahu," ujarnya.
Keluarga di Bawean, lanjut Salim, hanya mendapat kabar tentang kehidupan Harun dari cerita para tetangga yang pulang dari Jakarta.
Namun cerita-cerita itu tidak pernah ada yang membuat keluarga tenang. Harun, menjadi sosok yang ditakuti oleh kebanyakan orang di Jakarta.
"Dia sering membuat ulah, suka tawuran, tidak mau bayar saat naik bus," kata Salim.
Menurut cerita, Harun juga lama bekerja di pelabuhan Singapura. Semejak duduk di bangku sekolah pertama, ia sudah menjadi anak buah kapal dagang Singapura.
Kesehariannya berada di Pelabuhan membuatnya sangat hafal daratan dan jalur pelayaran Singapura. Sehingga ia dengan mudah membantu warga Bawean yang ingin mengadu nasib sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Sampai-sampai, di Malaysia sendiri saat ini ada kampung Boyan. Sebuah kampung yang dihuni oleh warga Bawean.
Nama Harun, anggota Korps Komando Operasi (KKO) asal Pulau Bawean ini mencuat setelah dijatuhi hukuman gantung oleh pemerintah Singapura. Bersama temannya, Usman, nama mereka diukir dilambung KRI milik TNI AL, yakni KRI Usman Harun - 359.
Kedua pasukan khusus TNI AL itu dihukum gantung oleh pemerintah Singapura pada Oktober 1968, lantaran telah menyusup dan meledakkan gedung Hongkong and Shanghai Bank (dikenal dengan nama MacDonald House), di wilayah pusat kota Singapura yang padat pada 10 Maret 1965.
Lukisan wajah Tahir dan penghargaan jadi Museum di rumah masa kecilnya. (Foto: Ali Masduki)
Menurut catatan sejarah, tiga orang meninggal dunia dan sedikitnya 33 orang dicederai dalam aksi sabotase tersebut.
Namun tidak banyak yang bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada waktu itu. Maklum saja, Usman dan Harun tertangkap tanpa identitas sebagai prajurit TNI.
Pemerintah Singapura menganggap mereka sebagai teroris. Namun bagi pemerintah Indonesia, Usman Harun sahid sebagai pahlawan nasional.
Salim menjelaskan, keluarga di Bawean sangat shok saat mendengar Harun dihukum gantung oleh pemerintah Singapura. Awalnya keluarga mengira Harun telah melakukan tindakan kriminal. Tetapi setelah pemerintah melayangkan surat resmi, keluarga akhirnya memahami.
"Soalnya memang dari kecil beliau terkenal nakal," imbuhnya.
Sebagai pahlawan nasional, ternyata tidak banyak peninggalan-peninggalan Harun. Hanya cerita-cerita masa kecilnya yang nakal dan pemberani saat kecil dikampung halamannya.
Bahkan foto masa kecilnya saja tidak ada. Maklum dulu belum ada tukang foto. Apalagi Harun dilahirkan dikeluarga kurang mampu. Ia hanya meninggalkan kalung berhiaskan liontin emas dengan simbol Garuda. "Ini satu-satunya peninggalan beliau pada ibunya.
Liontin Garuda peninggalan Tahir.
Sebagai keponakan, Salim tidak tahu apa makna liontin Garuda milik pamannya itu. Yang Ia tahu, liontin Garuda itu milik Harun yang diberikan pada mendiang ibunya Harun. Dari Ibunya Harun, liontin diberikan pada adiknya harun yakni Asiyah.
"Setelah ibu saya meninggal, liontin ini baru saya pakai. Ini baru tiga hari saya pakai", ujarnya.
Atas jasa-jasanya kepada negara, Kopral KKO TNI Anumerta Harun bin Said alias Thohir bin Mandar Anggota Korps Komando AL-RI Harun bin Said dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No.050/TK/Tahun 1968, tanggal 17 Oktober 1968.
Editor : Ali Masduki