SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo sebagai pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, terus mendapat penolakan dari berbagai kalangan, terutama di Jawa Timur. Kebijakan ini dinilai memberikan dampak besar terhadap masa depan Industri Hasil Tembakau (IHT), yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi daerah.
Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya, Sulami Bahar, menyoroti kontribusi besar IHT terhadap perekonomian nasional. Pada 2023, penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) mencapai Rp210,29 triliun, meskipun turun 3,81% dibandingkan tahun sebelumnya. Hingga Oktober 2024, angka ini sudah mencapai Rp167 triliun atau 71,48% dari target APBN sebesar Rp230,4 triliun.
"IHT bukan sekadar industri, tapi sumber nafkah bagi hampir 6 juta orang, mulai dari petani tembakau, pekerja pabrik, hingga pedagang. Ini sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia," ungkap Sulami dalam FGD bertema “Masa Depan IHT di Era Prabowo-Gibran” yang digelar oleh JEBS di Surabaya.
Namun, lanjut Sulami, industri ini terus tertekan oleh sekitar 500 regulasi dari berbagai kementerian dan lembaga. "Sekitar 89,68% regulasi terkait IHT adalah pembatasan. PP 28/2024 hanya menambah beban dan tidak berimbang, karena hanya melihat aspek kesehatan tanpa mempertimbangkan dampak ekonomi," tegasnya.
Ia menyoroti kebijakan kemasan polos (plain packaging) yang justru membuka celah maraknya rokok ilegal. "Pengusaha legal terbebani pajak hingga 83%, sedangkan rokok ilegal bebas pajak dan dijual murah. Ini merugikan pemerintah dan industri resmi," tambahnya.
Editor : Arif Ardliyanto