SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindan Kekerasan (KontraS) menggelar diskusi dengan mengangkat tema "Masa Depan HAM Dibawah Kepemimpinan Prabowo", pada Rabu (11/12/2024) malam. Acara yang digelar di kantor KontraS Jalan Monginsidi itu menghadirkan tiga narasumber.
Antara lain, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Federasi KontraS Andy Irfan Junaedi, Pegiat Pendidikan HAM, Dian Noeswantari dan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Andre Yuris. Sedangkan Kepala Biro Kampanye dan Mobilisasi KontraS Surabaya, Shafira Noor Adlina. Acara tersebut dihadiri mahasiswa, akademisi, dan juga awak media.
Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Federasi KontraS Andy Irfan Junaedi, saat ini Indonesia masuk pada fase post truth. Dimana informasi tersedia secara melimpah yang seringkali fakta-fakta objektif tidak lagi menjadi dasar utama dalam membentuk opini publik. "Fakta, sekarang ini dikendalikan oleh narasi. Contoh, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kepempimpinan Prabowo," katanya.
Andy menambahkan, yang juga menjadi persoalan saat ini adalah terkait impunitas. Impunitas sendiri secara singkat didefinisikan sebagai ‘pembebasan dari hukuman’. Seringkali, kejahatan-kejahatan aparat negara, tidak tersentuh oleh hukum. Bahkan, anehnya, masyarakat terkadang memaklumi kejahatan tersebut.
"Maka, yang paling penting hari ini adalah narasi. Bagaimana narasi harus dilawan dengan narasi. Masa depan demokrasid ditentukan oleh konsolidasi sipil mengingat partai politik hanya menjadi jasa politik," tandasnya.
Sementara itu, Ketua AJI Surabaya, Andre Yuris mengungkapkan bahwa, saat ini tingkat kekerasan terhadap jurnalis masih tinggi. AJI Indonesia mencatat, setidaknya ada 61 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang tahun 2024 ini. Data ini menunjukkan, ancaman terhadap jurnalis di Indonesia masih menjadi persoalan serius. "Di Surabaya misalnya, kekerasan dilakukan aparat penegak hukum terhadap wartawan Nurhadi," ujarnya.
Pihaknya meyakini, tren kekerasan terhadap jurnalis tetap akan tinggi. Kondisi ini diperburuk dengan munculnya draf RUU Penyiaran. RUU ini merupakan inisiatif DPR yang direncanakan untuk menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Salah satu draf dalam RUU tersebut mengatur tentang larangan jurnalisme investigatif. "Jadi kekerasan terhadap jurnalis juga dilakukan lewat UU," katanya.
Editor : Arif Ardliyanto