SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Di tengah dampak perubahan iklim dan maraknya eksploitasi hutan, ekspedisi Arah Singgah TelusuRI (2023-2024) mengungkap kisah-kisah inspiratif tentang kearifan lokal dan keberlanjutan.
Tim ekspedisi Mauren Fitri, Rifqy Faiza Rahman, dan Deta Widyananda menjelajahi sepuluh kabupaten di enam provinsi (Jawa Tengah, Sumatra Utara, Riau, Kalimantan Timur, Papua Barat Daya, dan Papua), mendokumentasikan praktik-praktik harmoni antara masyarakat adat dan lingkungan mereka.
Hutan sebagai Ibu Pertiwi
Bagi masyarakat Papua, "hutan sebagai ibu" bukanlah kiasan belaka. Hutan adalah sumber kehidupan, menyediakan segala kebutuhan. Di Sorong Selatan, misalnya, masyarakat memanfaatkan sagu yang tumbuh alami di hutan, tanpa kebun sagu khusus. Kelimpahan sagu menjadikan daerah ini salah satu penghasil terbesar di Papua Barat Daya.
Rifqy Faiza Rahman, anggota tim ekspedisi, menuturkan bahwa ia mengamati proses pengolahan sagu, dari penebangan hingga pengolahan tepung, melibatkan seluruh kampung dengan pembagian tugas yang jelas antara laki-laki dan perempuan.
"Yang mengagumkan, mereka hanya mengambil secukupnya, meninggalkan tunas untuk regenerasi, dan melindungi pohon sagu di tempat-tempat keramat," ucapnya.
Kearifan ini, lanjut Rifqy, merupakan warisan turun-temurun yang terpatri kuat dalam kepercayaan mereka. Bahkan bumbu dan garam pun berasal dari hutan, seperti garam nipah yang dihasilkan Suku Moi di Kampung Malawele dari pelepah pohon nipah.
Di Kalimantan Timur, Kampung Merabu di Kabupaten Berau menjadi contoh lain. Masyarakat di sini menjaga hutan dan ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat, tetap berinteraksi harmonis dengan alam.
Anak-anak bermain dan mencari hasil hutan seperti madu, kijang, dan babi hutan. Suku Dayak Lebo, dikenal sebagai ahli pengobatan tradisional, memanfaatkan kekayaan hutan untuk ramuan obat-obatan.
Kearifan Lokal: Benteng Pertahanan Ekosistem
Desa Batu Songgan di Riau menerapkan sistem "hutan larangan" dan "lubuk larangan" untuk mengatur akses sumber daya alam. Sistem serupa juga dipraktikkan Suku Moi melalui tradisi "egek," membatasi akses ke kawasan hutan dan laut tertentu untuk menjaga kelestarian.
Uniknya, egek juga memiliki aspek ekonomi; hasil panen raya dibagikan dan dijual saat Festival Egek, pendapatannya digunakan untuk gereja dan pendidikan anak-anak.
Pemulihan Alam, Peningkatan Ekonomi
Ekspedisi TelusuRI juga menemukan kisah-kisah pemulihan alam yang berdampak pada peningkatan ekonomi. Desa Brenggolo di Wonogori, Jawa Tengah, yang dulunya gersang dan rawan longsor, kini berkat budidaya kopi, menjadi desa yang sejahtera dan lestari. Di Bengkalis, Riau, Samsul Bahri berhasil merestorasi mangrove, mengatasi banjir rob dan kerusakan lahan pertanian.
Sementara itu, Rutkita Sembiring, mantan pembalak liar di Kabupaten Langkat, kini menjadi pengelola ekowisata setelah bertransformasi melalui dialog dengan mahasiswa pecinta alam.
Ekowisata: Solusi Berkelanjutan
Ekowisata terbukti sebagai solusi berkelanjutan, menghasilkan pendapatan tanpa merusak lingkungan. Hutan mangrove Teluk Pambang, Kampung Malagufuk di Sorong (dengan keanekaragaman burung cenderawasih), dan Kampung Merabu (dengan situs sejarah dan goa purba) menjadi contoh destinasi ekowisata yang sukses. Pendapatan dari ekowisata dan program adopsi pohon di Kampung Merabu bahkan digunakan untuk membiayai pendidikan anak-anak.
Ekspedisi TelusuRI menunjukkan bahwa pembangunan berkelanjutan dapat terwujud dengan menghargai kearifan lokal dan mengembangkan potensi ekonomi berbasis alam secara bertanggung jawab. Kisah-kisah ini menjadi bukti nyata bahwa harmoni antara manusia dan hutan adalah kunci untuk masa depan yang lestari.
Editor : Ali Masduki