SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Serikat Buruh FSP Kahutindo melayangkan gugatan terhadap Keputusan Gubernur Jawa Timur No: 100.3.3.1/775/KPTS/013/2024 terkait Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tahun 2025. Gugatan ini diajukan pada Senin (30/12/2024) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya.
Andika Hendrawanto, kuasa hukum FSP Kahutindo, mengungkapkan kekecewaannya terhadap keputusan tersebut. Menurutnya, kenaikan UMK di beberapa wilayah strategis seperti Surabaya, Mojokerto, Sidoarjo, Gresik, Kota Malang, dan Kabupaten Malang hanya sebesar 5 persen, jauh dari angka yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2024, yaitu 6,5 persen.
“Permenaker Nomor 16 sangat jelas menyebutkan kenaikan sebesar 6,5 persen. Anehnya, hanya Jawa Timur yang menetapkan kenaikan di bawah angka itu. Di wilayah lain, semuanya patuh dengan 6,5 persen,” ujar Andika di Surabaya, Selasa (31/12/2024).
Keputusan gubernur ini menetapkan UMK Kota Surabaya menjadi Rp 4.961.753, Kabupaten Gresik Rp 4.874.133, Kabupaten Sidoarjo Rp 4.870.511, dan Kabupaten Pasuruan Rp 4.866.890. Kabupaten Mojokerto hanya mencapai Rp 4.856.026, sementara Kabupaten Malang Rp 3.553.530, dan Kota Malang Rp 3.507.693.
Jika dibandingkan dengan UMK tahun sebelumnya, kenaikan ini terlihat minim. UMK Kota Surabaya misalnya, hanya naik dari Rp 4.725.479 menjadi Rp 4.961.753—sekitar 5 persen. Hanya Kota Malang yang mencapai kenaikan 6 persen.
“Usulan dari serikat pekerja dan rekomendasi bupati maupun wali kota sudah jelas, yaitu 6,5 persen. Namun tiba-tiba Pj Gubernur menetapkan hanya 5 persen. Pertanyaannya, 1,5 persen itu ke mana?” tegas Andika.
Pj Gubernur Jawa Timur berdalih menggunakan diskresi untuk mencegah disparitas antara daerah ring 1 dan wilayah lain. Sebagai contoh, beberapa daerah di luar ring 1 seperti Madiun mendapat kenaikan hingga 7 persen. Namun, Andika menilai alasan tersebut tidak masuk akal.
“Diskresi ini seperti mengorbankan ring 1 demi daerah lain. Padahal, kontribusi ekonomi terbesar justru berasal dari wilayah ring 1. Diskresi ini nyata-nyata melanggar aturan. Pasal 5 ayat 2 sudah jelas, kenaikan UMK adalah 6,5 persen,” kritiknya.
Atas keputusan ini, Andika bersama puluhan buruh FSP Kahutindo resmi mendaftarkan gugatan ke PTUN Surabaya. Mereka berharap gugatan ini dapat membatalkan SK Gubernur tersebut dan mengembalikan kenaikan UMK sesuai aturan.
“Perintah presiden jelas, perintah menteri juga jelas. Tapi kenapa Pj Gubernur berani mengambil keputusan yang bertentangan? Kami ingin mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas keputusan yang merugikan buruh ini,” tegas Andika.
Puluhan buruh yang tergabung dalam Kahutindo terus menyuarakan perjuangan mereka. “Ini bukan hanya soal angka, tapi soal hak yang dirampas di depan mata. Kami akan terus berjuang hingga keadilan ditegakkan,” pungkas Andika.
Gugatan ini menjadi penanda bahwa perjuangan buruh di Jawa Timur masih jauh dari kata selesai. Keputusan ini diharapkan menjadi perhatian, baik bagi pemerintah daerah maupun pusat, agar hak-hak buruh tetap terjamin.
Editor : Arif Ardliyanto