Standar Kemiskinan Indonesia Ketinggalan Zaman?
SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Perbedaan data kemiskinan antara World Bank (lebih dari 190 juta jiwa) dan BPS Indonesia (sekitar 24 juta jiwa) memicu perdebatan. Prof Rossanto Dwi Handoyo, dosen Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (UNAIR), memberikan tanggapan terkait urgensi perubahan standar kemiskinan di Indonesia.
Rossanto mengkritik metode perhitungan BPS yang dianggap sudah usang. "Perhitungan 2.100 kalori untuk kebutuhan makanan sudah tidak layak," ujarnya.
Ia menegaskan perlunya menghitung garis kemiskinan berdasarkan standar hidup layak, bukan sekadar memenuhi kebutuhan minimal.
"Miskin tapi tidak layak hidup sama saja menuju kematian," tegasnya.
Rossanto juga menyoroti perubahan pola konsumsi masyarakat. "Kebutuhan non-makanan seperti internet kini sangat penting," katanya.
Oleh karena itu, ia menyarankan agar pemerintah memperbarui standar garis kemiskinan dengan mempertimbangkan indikator-indikator terkini.
"Pemerintah harus mengubah standar hidup dalam perhitungan garis kemiskinan," papar Rossanto.
"Jika standar kemiskinan tidak sesuai lagi dengan standar hidup sekarang, pemerintah harus mengubahnya menjadi standar yang lebih layak," tuturnya.
Ia menambahkan bahwa perubahan standar kemiskinan bukan hal yang memalukan, melainkan langkah penting untuk menciptakan kebijakan yang lebih tepat sasaran.
"Jangan sampai kita bangga menjadi negara berpendapatan menengah ke atas tapi memperlakukan warga seperti negara berpendapatan rendah," pungkasnya.
Editor : Ali Masduki