Waspada! Penggantian MBG dengan Snack Picu Gizi Buruk dan Penyakit Kronis
SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Tren penggantian menu Makanan Bergizi Gratis (MBG) dengan snack kemasan yang ramai di media sosial mendapat sorotan tajam dari pakar gizi.
Lailatul Muniroh, Dosen Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (UNAIR), mengungkapkan kekhawatirannya akan dampak buruk terhadap kesehatan, baik jangka pendek maupun panjang.
Menurut Lailatul, MBG yang ideal harus memenuhi seluruh kebutuhan zat gizi makro dan mikro. Snack, sebagaimana fungsinya, hanya sebagai selingan antara dua waktu makan utama, bukan pengganti.
"Porsi snack idealnya hanya 10% dari total kalori harian. Penggunaan snack untuk mengganti makanan utama hanya bisa dilakukan dalam situasi terbatas dan terkontrol, misalnya pada lansia, pasien pasca operasi, atau individu sakit yang kesulitan mengonsumsi makanan utama," jelasnya.
Penggantian MBG dengan snack secara konsisten, terutama snack rendah gizi, berpotensi menimbulkan berbagai masalah kesehatan.
"Jangka pendek, dapat mengurangi energi dan zat gizi, menurunkan konsentrasi dan produktivitas. Snack tinggi gula dan garam memberikan rasa kenyang cepat namun tidak bertahan lama, dan tak mampu memenuhi kebutuhan gizi harian. Jangka panjang, berisiko menyebabkan gizi buruk pada anak, anemia, hidden hunger (kekurangan zat gizi mikro), dan peningkatan risiko penyakit tidak menular seperti diabetes tipe 2 dan hipertensi," ujar Lailatul.
Meskipun mengakui kepraktisan snack, Lailatul menyarankan solusi berupa nutrient-dense snacks atau snack padat gizi.
"Snack tidak harus identik dengan makanan ringan rendah kalori. Snack yang dirancang dengan prinsip gizi seimbang bisa menjadi alternatif saat makanan utama tak tersedia. Namun, ini tak boleh terjadi terus-menerus karena tidak ada kondisi darurat yang ‘memaksa’ snack menggantikan makanan utama," tegasnya.
Untuk memastikan efektivitas program MBG, Lailatul merekomendasikan beberapa kebijakan, antara lain penetapan standar gizi nasional, integrasi data stunting, alokasi dana khusus, dan pemanfaatan pangan lokal bergizi tinggi.
"Libatkan ahli gizi di setiap intervensi, lakukan monitoring input-proses-output secara kontinyu, dan buat rencana tindak lanjut dari hasil monitoring," tambahnya.
Ia memperingatkan konsekuensi serius jika praktik penggantian MBG dengan snack terus berlanjut.
"Rendahnya potensi kognitif dan beban kesehatan jangka panjang akan menjadi beban negara. Akses terhadap makanan bergizi, aman, dan terjangkau adalah hak dasar yang harus dijamin negara, bukan pilihan atau kompromi," tegasnya.
Editor : Ali Masduki