Bukan Sekadar Hari Anak: Saatnya Anak Bicara, Negara Mendengar
JAKARTA, iNewsSurabaya.id - Momentum Hari Anak Nasional 2025, muncul dorongan kuat untuk mengubah cara pandang terhadap anak-anak dalam penyusunan kebijakan. Tak lagi cukup menjadikan mereka sebagai penerima manfaat, kini anak-anak didesak untuk dilibatkan secara aktif sebagai subjek utama dalam kebijakan publik.
Seruan ini datang dari Arie Rukmantara, Chief Field Office UNICEF Indonesia, yang menekankan bahwa mendengarkan suara anak-anak bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga langkah strategis untuk masa depan ekonomi Indonesia.
"Ketika anak kehilangan layanan dan kesempatan dasar, dampaknya beriak panjang: produktivitas turun, biaya kesehatan meningkat, dan ketahanan ekonomi melemah," tegas Arie saat konferensi pers pada Rabu (23/7/2025).
Meski data menunjukkan penurunan angka kemiskinan multidimensi dari 12,44% (2020) menjadi 10,96% (2023), situasinya tak sepenuhnya menggembirakan. Lima indikator yang justru memburuk berkaitan erat dengan hak anak—mulai dari akses pendidikan prasekolah, imunisasi, hingga kepemilikan aset dasar.
“Ini bukan sekadar isu sosial. Ini tanda bahaya ekonomi,” kata Arie.
Indonesia saat ini menggunakan Indeks Perampasan Multidimensi Indonesia (MDI-I), hasil kerja sama Kementerian Keuangan, UNICEF, dan Universitas Indonesia, untuk memotret kemiskinan secara lebih menyeluruh. Indeks ini tidak hanya melihat pendapatan, tetapi juga akses ke layanan penting seperti pendidikan, kesehatan, hingga perumahan.
Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah bersama UNICEF menghadirkan ALIFA (Analisis dan Layanan Informasi Fiskal Terkait Anak). Ini adalah alat baru yang dirancang untuk membantu pemerintah daerah mengarahkan anggaran secara inklusif, agar lebih berpihak pada kebutuhan anak-anak.
Apa yang membuat ALIFA berbeda? Mampu mengurai pengeluaran lintas sektor yang berdampak pada anak, Bisa diakses publik, termasuk oleh anak-anak dan masyarakat sipil, dan Transparan dan partisipatif, mendorong pengawasan anggaran dari bawah ke atas
“ALIFA dan MDI-I ini seperti dua sisi mata uang. Satu mengidentifikasi masalah, satunya lagi memastikan solusi hadir lewat anggaran yang tepat sasaran,” ujar Arie.
Melibatkan anak dalam proses pengambilan keputusan bukan hal baru secara global. Negara seperti Nepal dan Ethiopia sudah membuktikan bahwa partisipasi anak dalam pemerintahan lokal berdampak nyata pada efisiensi anggaran dan peningkatan layanan publik.
Indonesia kini mencoba mengadopsi semangat yang sama: membangun tata kelola yang responsif terhadap anak, bukan hanya dalam bentuk dokumen kebijakan, tetapi juga dalam praktik nyata di lapangan.
Arie menekankan, pendekatan berbasis data dan teknologi tak akan berdampak jika tidak diikuti dengan perubahan budaya birokrasi. Dibutuhkan koordinasi lintas sektor, penguatan kapasitas SDM, dan kemauan politik untuk menjadikan anak-anak sebagai aktor aktif pembangunan, bukan sekadar angka statistik.
"Visi besarnya adalah ini: anak-anak harus terlihat dalam data, terdengar dalam kebijakan, dan dihitung dalam setiap rupiah anggaran," tegas Arie.
Sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak, Indonesia memiliki kewajiban hukum dan moral untuk menjamin hak anak untuk berpendapat dalam hal-hal yang menyangkut mereka.
“Berhenti merancang kebijakan untuk anak-anak tanpa melibatkan mereka. Ini bukan cuma soal etika ini strategi pembangunan yang cerdas,” pungkas Arie.
Editor : Arif Ardliyanto